Jangka Jayabaya
MASYARAKAT Jawa pada umumnya, begitupun para peneliti kebanyakan sepakat bahwa banyak ramalan dalam Jangka Jayabaya banyak yang akurat, baik ketika meramalkan kebangkitan dan runtuhnya kerajaan-kerajaan Jawa tempo dulu, begitupun dalam meramalkan naik-turunnya para raja dan ratu dari kerajaan-kerajaan itu. Begitupun para pemimpin setelah kerajaan-kerajaan itu terhimpun menjadi satu negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Jangka Jayabaya, atau Ramalan Jayabaya sendiri ditulis oleh Raja Kediri, Prabu Jayabaya dan masih dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga hingga saat ini. Beberapa sumber mengatakan bahwa ia merupakan keturunan dari Dewa Kebijaksanaan, Brahma. Tapi ada pula yang meyakini bahwa Jayabaya adalah reinkarnasi Wisnu, dewa yang bertugas untuk memelihara dan melindungi.
Ayahnya, Gendrayana, diklaim sebagai keturunan legendaris Pandawa Lima, yaitu dari garis keturunan Arjuna yang merupakan anak dari Dewa Indra. Karena hal tersebut, Jayabaya diyakini memiliki kekuatan magis yang membuatnya mampu membaca kejadian pada masa lalu maupun yang pada masa yang akan datang.
Ramalan Jayabaya sendiri terbagi dalam enam periode sejarah, dimana setiap sejarah memakan waktu hampir seratus tahun. Keenam periode itu adalah Kalajangga (1401-1500 Masehi), Kalasakti (1501-1600 M), Kalajaya (1601-1700 M), Kalabendu (1701-1800 M), Kalasuba (1801-1900 M), Kalasumbaga (1901-2000), dan Kalasurasa (2001-2100 M).
Teori Notonegoro
JAYABAYA pernah memprediksi pemimpin Indonesia di era modern yang dikenal dengan istilah Notonegoro, atau secara harfiah jika diartikan adalah sebagai pemimpin negara. Karena tak ada penjelasan lebih lanjut, hingga saat ini, terdapat banyak interpretasi terhadap hal tersebut.
Penjelasan paling sederhana adalah, siapa pun yang menjadi pemimpin Indonesia bukanlah raja yang sangat berkuasa, namun seorang pengurus atau pemimpin yang menjawab permasalahan rakyatnya.
Satu teori mengatakan bahwa Notonegoro menunjukkan suku kata terakhir dari nama-nama Presiden Indonesia. Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar, karena telah terbukti, bahwa hanya dua presiden pertama saja yang cocok dengan istilah tersebut, yaitu SukarNO dan SuharTO, yang jika digabung menjadi NOTO seperti pada NOTOnegoro.
Presiden ke tiga, BJ Habibie tak memiliki akhiran Ne dalam namanya, begitupun dengan Abdurrahman Wahid yang menjadi pemimpin Indonesia ke empat juga tak memiliki akhiran Go. Interpretasi lain mengatakan bahwa hanya presiden paling berpengaruh saja yang suku kata terakhir namanya yang sesuai. Dalam teori tersebut dikemukakan, bahwa Ne tak ada dalam nama BJ Habibie karena Ne ditafsirkan sebagai presiden kelahiran dari luar Pulau Jawa.
Kata yang terakhir, yaitu GORO, kemudian banyak ditafsirkan dari asal kata goro-goro atau dalam bahasa Jawa berarti konflik atau kerusuhan, yang terjadi setelah pemerintahan dua presiden sebelumnya. Presiden keenam, yaitu Susilo Bambang YudhoyoNO, dipercaya sebagai pengulangan suku kata pertama dari NOtonegoro. Banyak tafsir atas kalimat yang terdengar sederhana itu, namun banyak pihak sepakat bahwa masa huru-hara itu terjadi setelah Indonesia dipimpin oleh pemimpin dengan kata “no”, “to”, dan “no” lagi di belakang namanya, karena goro diterjemahkan dengan goro-goro atau huru-hara.
Ketika Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 yang lalu, dan digantikan oleh BJ Habibie, banyak yang percaya bahwa ramalan Jayabaya melompat dari presiden RI-1 dan ke-2, ke presiden setelah Habibie. Namun kemudian, pada 1999, Ppresiden yang terpilih adalah Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, sehingga kembali banyak yang percaya bahwa ramalan itu kembali melompat ke era setelah Gus Dur.
Saat Gus Dur dilengserkan MPR melalui Sidang Istimewa pada 2001 dan digantikan Megawati Soekarnoputi, kembali banyak yang percaya bahwa ramalan itu kembali melompat ke era setelah Megawati.
Kemudian, pada 2004, Pemilu menghasilkan presiden bernama Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang nama belakangnya “NO”. Orang pun banyak yang cemas karena mungkin “NO” yang ini yang akan memicu goro-goro. Namun hingga masa jabatannya selesai pada 2009, goro-goro yang ditakutkan tak pernah terjadi.
Namun, pada Pemilu 2009 ternyata memilih kembali “NO” ini menjadi presiden, dan kekhawatiran pun kembali datang, apakah huru-hara yang dimaksud Jayabaya akan terjadi setelah jabatan si “NO” ini selesai pada 2014. Apalagi karena “NO” ini telah dua kali menjadi presiden, dan sesuai undang-undang, dia tak bisa mencalonkan diri lagi sebagai capres pada Pemilu 2014.
Pilpres 2019 adalah dampak dari Pertarungan 2014 yang masih belum Usai
HAMPIR semua Media akhir-akhir ini menampilkan berita tentang kondisi terkini dari masing-masing pendukung dua hastag yang terus bergerak liar di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dua hashtag itu menunjukkan adanya polarisasi pembagian kelompok di masyarakat, antara pendukung dan penentang presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika kita runtut ke belakang, itu adalah dampak dari Pilpres 2014 yang masih membekas hingga hari ini.
Jujur saja aku tidak begitu terpengaruh dengan hiruk pikuk politik diluar sana, bukan karena aku tidak perduli pada keadaan Negara ini, apalagi anti Politik, tapi menurutku itu sah-sah saja, selagi masih dalam bingkai NKRI.
Banyak orang yang mengatakan bahwa selama Orde Baru (Orba) dulu, kita penuh dengan kekangan untuk mengekspresikan pendapat. Semua dilarang. Segala sesuatu yang menyudutkan pemerintah akan diawasi, kalau perlu dituduh subversif. Semua individu, lembaga non pemerintah, pers, pada saat itu berada dalam pengawasan pemerintah.
Dan setelah Orba tumbang, terjadi penyesuaian di sana sini. Antara kebutuhan bebas dan usaha mengatur agar semua berjalan dalam koridor aturan. Jadilan perseteruan sengit di antara dua kubu itu. Dan buntut perseteruan itu terus menggelinding sampai sekarang.
Ketukan di Pintu Kamar Tidurku
DI DEPAN laptop kesayangan-ku, di antara puntung-puntung rokok yang menggunung di dalam asbak rokok. Jari-jariku masih terus bergerak menekan tombol dan angka di keyboard pada laptop yang begitu setia menemani malam-malam panjangku ini, yang tanpa kusadari, ternyata beberapa malam belakangan ini aku begitu asik dengan dunia ku sendiri.
Aku seperti tidak perduli dengan gegap gempita yang terjadi di luaran sana, kedua mata dan telingaku ini, sepertinya tertutup bukan saja pada hiruk pikuk Dua hashtag yang saat ini mulai menunjukkan adanya polarisasi pembagian kelompok masyarakat di luar sana, bahkan, bidadari kecilku pun sepertinya juga luput dari perhatianku belakangan ini.
Seperti malam ini, sebelum kutinggal pergi kebalik dinding tipis yang membatasi antara duniaku dengan dunia-nya. Tadi kulihat dia begitu asik dengan mainan-nya sendiri. Dan tanpa kusadari, ternyata saat ini dia sudah berada di samping-ku. Mencoba menarik-narik tangan kiriku, mengajak-ku menemaninya. Dari balik dinding tipis dan tembus pandang ini aku bisa melihat semua gerak lucu tubuh mungil-nya yang masih saja terus memanggil-manggilku.
“Ah..lagi-lagi aku mengabaikan bidadari kecil itu.” kataku pada wanita berkulit hitam manis yang saat ini sedang membuatkan segelas kopi susu untukku. Dia cuma tersenyum sambil menatap kedua mataku, “Tenang aja, dia akan baik-baik aja disana, toh abang tidak benar-benar meninggalkannya kan? buktinya abang masih bisa melihatnya dari sini..” katanya lagi sambil tertawa kecil kearahku, barisan gigi putihnya yang terlihat begitu bersih dan rapi itu, sepertinya juga mencoba menenangkan kekuatiranku saat ini.
Sambil melirik kearahku, dia kembali tersenyum, sepertinya, dia juga begitu gemas pada bidadari kecilku yang dilihatnya begitu lucu, tapi tidak bisa melihat dirinya itu.
Bersambung
Catatan : Artikel ini juga tayang di Warkasa1919.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H