Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Sang Waktu (Bagian Satu)

3 September 2018   22:02 Diperbarui: 8 November 2020   17:15 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang yang mengatakan bahwa selama Orde Baru (Orba) dulu, kita penuh dengan kekangan untuk mengekspresikan pendapat. Semua dilarang. Segala sesuatu yang menyudutkan pemerintah akan diawasi, kalau perlu dituduh subversif. Semua individu, lembaga non pemerintah, pers, pada saat itu berada dalam pengawasan pemerintah.

Dan setelah Orba tumbang, terjadi penyesuaian di sana sini. Antara kebutuhan bebas dan usaha mengatur agar semua berjalan dalam koridor aturan. Jadilan perseteruan sengit di antara dua kubu itu. Dan buntut perseteruan itu terus menggelinding sampai sekarang.

Ketukan di Pintu Kamar Tidurku 

DI DEPAN laptop kesayangan-ku, di antara puntung-puntung rokok yang menggunung di dalam asbak rokok. Jari-jariku masih terus bergerak menekan tombol dan angka di keyboard pada laptop yang begitu setia menemani malam-malam panjangku ini, yang tanpa kusadari, ternyata beberapa malam belakangan ini aku begitu asik dengan dunia ku sendiri.

Aku seperti tidak perduli dengan gegap gempita yang terjadi di luaran sana, kedua mata dan telingaku ini, sepertinya tertutup bukan saja pada hiruk pikuk Dua hashtag yang saat ini mulai menunjukkan adanya polarisasi pembagian kelompok masyarakat di luar sana, bahkan, bidadari kecilku pun sepertinya juga luput dari perhatianku belakangan ini.

Seperti malam ini, sebelum kutinggal pergi kebalik dinding tipis yang membatasi antara duniaku dengan dunia-nya. Tadi kulihat dia begitu asik dengan mainan-nya sendiri. Dan tanpa kusadari, ternyata saat ini dia sudah berada di samping-ku. Mencoba menarik-narik tangan kiriku, mengajak-ku menemaninya. Dari balik dinding tipis dan tembus pandang ini aku bisa melihat semua gerak lucu tubuh mungil-nya yang masih saja terus memanggil-manggilku.

“Ah..lagi-lagi aku mengabaikan bidadari kecil itu.” kataku pada wanita berkulit hitam manis yang  saat ini sedang membuatkan segelas kopi susu untukku. Dia cuma tersenyum sambil menatap kedua mataku, “Tenang aja, dia akan baik-baik aja disana, toh abang tidak benar-benar meninggalkannya kan? buktinya abang masih bisa melihatnya dari sini..” katanya lagi sambil tertawa kecil kearahku, barisan gigi putihnya yang terlihat begitu bersih dan rapi itu, sepertinya juga mencoba menenangkan kekuatiranku saat ini.

Sambil melirik kearahku, dia kembali tersenyum, sepertinya, dia juga begitu gemas pada bidadari kecilku yang dilihatnya begitu lucu, tapi tidak bisa melihat dirinya itu.


Bersambung


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun