Mohon tunggu...
F.X. Warindrayana
F.X. Warindrayana Mohon Tunggu... -

mari berbagi hal baik lewat tulisan, "nemo dat quod non habet"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imlek, Momentum Pewarisan Budaya

17 Februari 2018   11:50 Diperbarui: 18 Februari 2018   05:03 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imlek menjadi memomentum pewarisan budaya dengan banyak gelaran event kultural di kantong-kantong chinese communities, tempat mukim overseas chinese di berbagai belahan bumi. Tak ketinggalan, Jogjakarta punya agenda tahunan Pekan Budaya Tionghoa dengan gelaran unik menampilkan budaya lokal juga. Budaya mana mau diwariskan? Forma budayanya atau nilai pesannya yang lebih utama untuk diwariskan?    

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Stepping Out. Hasil penelitian Chan Kwok Bun dan Claire C.S. Ngoh, dua orang peneliti Singapura, ini telah diangkat menjadi film serial yang ditayangkan sebuah saluran TV Singapura pada tahun 1999. Saya jadi teringat sebuah tulisan (I. Wibowo, 2000) yang mengulas film itu.

Kisahnya diawali dengan eksodus orang-orang Cina yang keluar meninggalkan pelabuhan Xiamen, di Provinsi Fujian, menuju Singapura untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Setiba di Singapura mereka menjadi kuli, tukang-tukang kasar, pedagang asongan, dan sebagainya. Ada kemiskinan, dan anak-anak pun ikut terlunta-lunta. Digambarkan dengan jelas penderitaan dan perjuangan keras generasi pertama perantau ini. 

Seluruh rangkaian film itu mau bertutur bahwa dulu mereka menderita, sekarang bahagia. Kemegahan kota Singapura, yang nota bene 75% penduduknya beretnis Cina, adalah hasil pembangunan generasi pertama ini. Banyak kisah sukses seperti itu, seperti juga dicatat oleh penulis lain. Sterling Seagrave dalam bukunya Lords of the Rim (1995) melukiskan orang-orang Cina yang meninggalkan tanah airnya, merantau ke seluruh penjuru bumi.

Ia menyajikan data-data menakjubkan. Tengok saja, ia menyebut di wilayah Pasifik terdapat 55 juta overseas chinese dengan tingkat GNP US$ 450 miliar. Kelompok overseas chinese ini mengontrol liquid assets sebesar US$ 2 triyun. Menurut catatannya, di seluruh Asia Tenggara terdapat tak kurang seratus konglomerat raksasa yang mendominasi ekonomi negara-negara yang ditinggali.

Seagrave dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang berimigrasi itu awalnya bukanlah pengusaha yang sudah kaya. Mereka itu petani, buruh pabrik atau penjaga toko. Begitu pun dengan mereka yang sampai di Indonesia.

Diberitakan bahwa sesampai di tanah-tanah rantau mereka kebanyakan menjadi kuli atau buruh perkebunan. Sampai akhirnya, mereka sukses menjadi lords of the Pacific rim, raja-raja di sabuk Pasifik, menguasai wilayah yang membentang dari Jakarta hingga Vancouver, atau Bangkok sampai San Fransisco.

Menariknya, Seagrave menunjuk nilai-nilai Konfusian, yang sayang tak dijelaskan rinci, sebagai penyebab paling bertanggung jawab atas sukses mereka itu. Analisis itu didukung analis-analis lain seperti George T. Haley, yang menulis buku New Asian Emperors (1998). Kisah awalnya sama seperti dikisahkan dalam Stepping Out, sampai akhirnya mereka menjadi emperors, kata yang dianggapnya lebih impresif daripada lords.

Ia membuat daftar para "kaisar baru"  di Asia Tenggara, ditambah Hong Kong dan Taiwan. Untuk Indonesia disebutnya nama Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Wijaja, Mochtar Riaddy, Suhargo Gondokusumo, dan Prajogo Pangestu. Dan, lagi-lagi Haley pun menunjuk "kerja keras" dalam konteks moralitas Konfusianisme untuk menjelaskan rahasia kesuksesan mereka. Namun, yang mana? Atau, dalam formula apa hal itu dikemas?

Sore itu ketika saya sedang makan bersama istri dan anak di sebuah chinese food restaurant di Jl. Gandekan, sebuah kawasan pecinan di Jogjakarta, saya tertegun. Mata saya tertumbuk pada sebingkai gambar dengan tulisan-tulisan. Tergoda rasa ingin tahu, saya membacanya. Empat Belas Pedoman Hidup Manusia, begitu judulnya, tertulis dalam bahasa Mandarin dan Indonesia.

Sepertinya saya menemukan mantra gaib yang menjawab keheranan selama ini, mengapa para overseas chinese dan keturunannya itu relatif sukses kehidupan ekonominya. Bukan karena "pelit" tetapi kerja keras atau "keuletan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun