Imlek menjadi memomentum pewarisan budaya dengan banyak gelaran event kultural di kantong-kantong chinese communities, tempat mukim overseas chinese di berbagai belahan bumi. Tak ketinggalan, Jogjakarta punya agenda tahunan Pekan Budaya Tionghoa dengan gelaran unik menampilkan budaya lokal juga. Budaya mana mau diwariskan? Forma budayanya atau nilai pesannya yang lebih utama untuk diwariskan? Â Â
Kisahnya diawali dengan eksodus orang-orang Cina yang keluar meninggalkan pelabuhan Xiamen, di Provinsi Fujian, menuju Singapura untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Setiba di Singapura mereka menjadi kuli, tukang-tukang kasar, pedagang asongan, dan sebagainya. Ada kemiskinan, dan anak-anak pun ikut terlunta-lunta. Digambarkan dengan jelas penderitaan dan perjuangan keras generasi pertama perantau ini.Â
Seluruh rangkaian film itu mau bertutur bahwa dulu mereka menderita, sekarang bahagia. Kemegahan kota Singapura, yang nota bene 75% penduduknya beretnis Cina, adalah hasil pembangunan generasi pertama ini. Banyak kisah sukses seperti itu, seperti juga dicatat oleh penulis lain. Sterling Seagrave dalam bukunya Lords of the Rim (1995) melukiskan orang-orang Cina yang meninggalkan tanah airnya, merantau ke seluruh penjuru bumi.
Ia menyajikan data-data menakjubkan. Tengok saja, ia menyebut di wilayah Pasifik terdapat 55 juta overseas chinese dengan tingkat GNP US$ 450 miliar. Kelompok overseas chinese ini mengontrol liquid assets sebesar US$ 2 triyun. Menurut catatannya, di seluruh Asia Tenggara terdapat tak kurang seratus konglomerat raksasa yang mendominasi ekonomi negara-negara yang ditinggali.
Seagrave dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang berimigrasi itu awalnya bukanlah pengusaha yang sudah kaya. Mereka itu petani, buruh pabrik atau penjaga toko. Begitu pun dengan mereka yang sampai di Indonesia.
Diberitakan bahwa sesampai di tanah-tanah rantau mereka kebanyakan menjadi kuli atau buruh perkebunan. Sampai akhirnya, mereka sukses menjadi lords of the Pacific rim, raja-raja di sabuk Pasifik, menguasai wilayah yang membentang dari Jakarta hingga Vancouver, atau Bangkok sampai San Fransisco.
Menariknya, Seagrave menunjuk nilai-nilai Konfusian, yang sayang tak dijelaskan rinci, sebagai penyebab paling bertanggung jawab atas sukses mereka itu. Analisis itu didukung analis-analis lain seperti George T. Haley, yang menulis buku New Asian Emperors (1998). Kisah awalnya sama seperti dikisahkan dalam Stepping Out, sampai akhirnya mereka menjadi emperors, kata yang dianggapnya lebih impresif daripada lords.
Ia membuat daftar para "kaisar baru"  di Asia Tenggara, ditambah Hong Kong dan Taiwan. Untuk Indonesia disebutnya nama Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Wijaja, Mochtar Riaddy, Suhargo Gondokusumo, dan Prajogo Pangestu. Dan, lagi-lagi Haley pun menunjuk "kerja keras" dalam konteks moralitas Konfusianisme untuk menjelaskan rahasia kesuksesan mereka. Namun, yang mana? Atau, dalam formula apa hal itu dikemas?
Sore itu ketika saya sedang makan bersama istri dan anak di sebuah chinese food restaurant di Jl. Gandekan, sebuah kawasan pecinan di Jogjakarta, saya tertegun. Mata saya tertumbuk pada sebingkai gambar dengan tulisan-tulisan. Tergoda rasa ingin tahu, saya membacanya. Empat Belas Pedoman Hidup Manusia, begitu judulnya, tertulis dalam bahasa Mandarin dan Indonesia.
Sepertinya saya menemukan mantra gaib yang menjawab keheranan selama ini, mengapa para overseas chinese dan keturunannya itu relatif sukses kehidupan ekonominya. Bukan karena "pelit" tetapi kerja keras atau "keuletan".
Tatap saya masih terpaku pada kata itu, yang terangkum dalam pedoman ke delapan, dalam lembar berbingkai yang tergantung di dinding rumah makan Pring Gading. "Kerja keras dan keuletan". Semangat itu rupanya menjadi pusaka yang telah diwariskan turun-temurun, dan terbukti membawa kesuksesan.
Pemilik Pring Gading tentu bukan lord apalagi emperor, tapi ia terbukti survive dari berbagai impitan, termasuk impitan politik Orde Baru. Ia sukses mengubah toko kecilnya yang semula bernama Seng Hwo, menjadi rumah makan yang berkembang. Tanpa sadar saya menoleh ke arah anak saya, yang belum berusia tiga tahun waktu itu.
Matanya bening sipit dan kulitnya kuning bersih seperti mamanya. Akankah ia juga bakal mendapatkan mantra gaib itu dari mamanya? Atau, ia bakal mendapat warisan budaya Jawa dari ayahnya? Kami belum tahu. Sebagai warga nonpribumi -maaf, kosa kata itu sebenarnya sudah dihapus- keturunan overseas chinese generasi keempat, mamanya tak lagi paham budaya leluhur
 Ia pun tak kenal utuh Empat Belas Pedoman Hidup Manusia, ataupun Ji Cap Si Hau ajaran Konfusius yang biasa disampaikan orang tua kepada anaknya di masa lalu. Ia bahkan terheran-heran dan tertawa geli ketika saya bawakan oleh-oleh sejumput tanah leluhur dari Cina Daratan sepulang tugas jurnalistik dari sana. Kami tak tahu budaya setempat macam apa yang akan kami wariskan pada anak kami, ketika dunia makin rata dan banyak terjadi peleburan budaya.
Namun, kami sepakat. Mesti ada nilai utama yang disampaikan, yang mungkin itu termuat dalam kemasan budaya entah apa. Yang penting, ia memiliki kebudayaan pribadi yang baik. Tidak menjadi soal apa pun rangsang budayanya. Para overseas chinese itu pun belum tentu mengenal  forma Empat Belas Pedoman Hidup Manusia, tetapi mereka paham nilai utama kerja keras dan keuletan yang terbukti berguna bagi keturunannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H