Sore itu ada dialog yang sedang berlangsung antar cucu dan nenek di dapur sederhana mereka.
Budi memegang buku bekas yang baru saja ia dapatkan dari pasar buku lowakan atau pasar buku bekas di sebelah desanya.
Budi mengatakan ingin sekali sekolah seperti teman-teman seumurannya yang lain, menikmati pagi dengan seragam rapo, sarapan pagi, mendapat pengetahuan baru yang selmaa ini ia damba-dambakan. Namun, semuanya belum bisa terpenuhi karena kondisi keluarga yang kurang berada.
Di saat ini sudah banyak tersedia sekolah gratis, tapi cenderung membutuhkan surat keterangan miskin, atau apalah sebutannya dengan tanda tangan atau diresmikan oleh perangkat desa yang menjadikan mereka bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar orang tak punya.Namun, Budi enggan meminta-minta walaupun itu untuk kebaikan masa depannya.
Sampai suatu saat ada seorang pemuka desa, yang berhati mulia, mendatangi rumah Budi dan si nenek.
Ia memberi kabar bahwa budi mulai besok akan disekolahkan tanpa dipungut biaya. Mendengar kabar ini budi senangnya bukan main. Ia sudah menyiapkan berbagai peralatan sekolahnya, seragam juga sudah disediakan tinggal berangkat saja.
Kesokan harinya budi berangkat ke sekolah dengan penuh ceria, membawa segudang impian masa depan. Tapi ternyata, apa yang di dapat di sekolah ternyata berbeda jauh dengan apa yang selama ini ia bayangkan.
Budi merupakan satu-satunya peserta didik yang berbeda dengan yang lain, disaat guru memberikan tugas ia selalu bisa mengerjakannya dengan sempurna. Namun ada satu sisi yang menjadikan ia terkungkung.
Budi merasa bahwa semasa ia mengenyam pendidikan, seakan-akan semua yang diajarkan guru merupakan suatu hal yang wajib dipercayai tanpa ada yang bisa dikritisi.
Apa yang diajarkan menurut budi menghilangkan cita-cita yang selama ini ia punya. Pikiran-pikiran original yang ia bawa semasa sebelum sekolah tiba-tiba hilang, berganti dengan berbagai macam ucapan guru yang mengatakan bahwa ilmu ini penting, namun semua yang disampaikan itu ternyata menjadikan keoriginalan pikiran budi layaknya di setir.
Sperti dalam matematika, guru menyampaikan rumusnya dan cara pengerjaannya. Ketika budi bisa mengerjakan dan hasilnya benar, tapi caranya tidak sama dengan apa yang disampaikan guru, ia disalahkan.Â
Di waktu lain ada kegiatan bimbel yang mengajarkan cara cepat mengerjakan soal matematika, dan ternyata cara yang digunakan sesuai cara Budi. Ia tersadar, ini kan caraku yang selama ini disalahkan guru. Padahal ini bisa untuk mencari jawaban secara cepat dan tepat.
Hanya karena tidak sesuai dengan langkah yang beliau ajarkan, ini menjadikan Budi disalahkan dan tidak mendapat nilai.
Ternyata setelah lulus dari sekolah, Budi kehilangan apa yang ia impikan selama ini. Alasannya tidak lain, karena selama ia sekolah selalu dikekang tanpa ada celah bagunya untuk melakukan inisiatif-inisiatif baru.
Sampai sekolah selanjutnya pun Budi sudah diatur dimana ia melanjutkannya, yang otomatis harus di lembaga yang sama juga. Akhirnya Budi tidak lagi menjadi sosok yang unik, semua gerak-geriknya selalu menunggu intruksi, karena memang sudah dibiasakan semacam itu selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H