Salah satu aspek penting dalam tujuan nasional mewujudkan kesejahteraan umum ialah terpenuhinya pangan secara berkelanjutan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sejak presiden pertama Ir. Soekarno hingga sekarang swasembada pangan menjadi cita-cita yang terus diupayakan.Â
Bahkan, pada pemerintahan saat ini swasembada pangan menjadi salah satu misi utama. Dalam "Asta Cita" Presiden Prabowo ketersediaan stok pangan sama pentingnya dengan pembangunan sektor pertahanan, keamanan dan energi.
Berbagai cara dan program telah ditempuh selama ini untuk mewujudkan swasembada pangan. Semua itu dilandasi kesadaran bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan paling hakiki bagi suatu bangsa. Â Bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang telah lebih dari 270 juta jiwa jug membuat kebutuhan pangan ikut meningkat. Di sisi lain produksi nasional belum mencukupi sehingga Indonesia terpaksa bergantung pada impor. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyebut Indonesia masih mengimpor bahan pangan sekitar 30 juta ton per tahun, termasuk beras, gula, kedelai dan sebagainya.
Oleh karena itu, terget swasembada pangan memiliki beberapa makna penting. Pertama, untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Kedua, menggerakkan perekonomian karena sebagian pertumbuhan ekonomi dan devisa Indonesia bersumber dari sektor pertanian. Ketiga, membangun ketahanan pangan sebagai salah satu perwujudan kesejahteraan umum.
Swasembada dan Lahan
Bukan perkara mudah mewujudkan misi mulia swasembada pangan dalam waktu singkat. Apalagi ada sejumlah tantangan dan kendala yang masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Salah satunya ialah ketersediaan dan akses lahan.
Tanpa mengabaikan peran sumber daya manusia dan inovasi teknologi, lahan merupakan elemen vital untuk mewujudkan swasembada pangan. Sederhananya, dukungan manusia dan teknologi akan semakin optimal jika tersedia lahan yang cukup untuk berproduksi.
Sayangnya lahan pertanian di Indonesia terus menyusut. Kementerian ATR/BPN pada 2022 mencatat konversi sawah menjadi nonsawah di Indonesia berkisar 100.000-150.000 hektar per tahun.Â
Meski di Pulau Jawa sawah-sawah baru berhasil dicetak, pada saat bersamaan  sawah di Pulau Sumatera dan Kalimantan menyusut tajam. Menurut BPS Sumatera kehilangan 592.421 hektar sawah selama 2010-2019. Sedangkan sawah di Kalimantan menciut hingga 301.291 hektar.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan untuk negara agraris seperti Indonesia. Apalagi semakin banyak petani pemilik sawah yang menjual lahannya kepada korporasi atau pemodal. Lahan tersebut kemudian digunakan bukan untuk memproduksi tanaman pangan. Mirisnya lagi banyak petani yang ingin bercocok tanam, tapi tidak memiliki lahan harus membayar sewa lahan yang sangat mahal.