Buku ditulis untuk dibaca. Diadakan agar pengetahuan dirayakan. Bukan untuk dimusuhi dan dilarang.
Suasana hati saya sebenarnya sedang kurang baik pada Kamis (9/1/2025). Namun, sebuah pesan whatsapp segera membuat saya senang dan bersyukur. Buku-buku yang saya kirimkan telah tiba di tujuan dan diterima dengan baik.
Bermula pada akhir Desember 2024 yang lalu. Viral di media sosial unggahan sebuah aktivitas literasi swadaya yang mendapat "musibah". Beberapa buku yang sedang digelar dalam lapak baca gratis diambil orang tak dikenal.Â
Menariknya buku-buku yang diambil memiliki benang merah yang serupa. Yakni buku-buku bertema sejarah dan sosial politik. Di antaranya biografi Sukarno, Tan Malaka, Animal farm dan lain sebagainya. Hampir semuanya merupakan buku-buku populer yang hingga kini bisa dijumpai dan dibeli di toko-toko buku.Â
Warganet pun tersedot perhatiannya pada buku-buku yang diambil. Kecurigaan adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu mencuat. Apalagi bukan kali pertama aktivitas lapak baca tersebut mendapatkan rintangan. Sebelumnya telah beberapa kali aktivitas "literasi jalanan" itu didatangi oleh Satpol PP dan sejumlah orang yang berusaha mempersulit kegiatan membaca buku gratis.Â
Penggerak lapak baca tersebut juga kerap mendapat pesan di media sosial dari beberapa orang yang meminta agar aktivitas tersebut dihentikan dengan berbagai alasan. Seperti tidak ada izin, masyarakat tidak butuh buku dan lebih butuh makan, membaca buku sudah ketinggalan zaman, dan sebagainya. Bahkan, setelah kejadian pada hari itu, pesan-pesan yang tidak simpatik masih didapatkan. Ada yang berkata bahwa hilangnya buku-buku tersebut merupakan pertanda agar kegiatan lapak baca sebaiknya dihentikan.
Saya lalu mencari tahu nomor pengelola lapak baca tersebut. Setelah mendapatkannya, saya tawarkan untuk mengirimkan beberapa buku serupa sebagai pengganti. Kebetulan dalam koleksi pribadi saya ada judul yang sama. Tawaran itu dibalas. Alamat mereka berikan dengan patokan tempat agar buku-buku yang akan saya kirim bisa sampai di tujuan.Â
Dalam proses pengiriman, paket buku sempat tertahan beberapa hari di kota tujuan. Dugaan saya karena alamatnya berada di sebuah kampung di kabupaten kecil dan berada di perbatasan kota sehingga kurir perlu waktu lebih lama untuk mengantarkannya. Sempat muncul kekhawatiran alamat yang dituju kurang spesifik karena tidak bernomor rumah meski ada nama dan kontak nomor HP yang bisa dihubungi.
Akhirnya buku-buku itu sampai. Pesan WA yang saya terima siang itu mengabarkan bahwa buku-buku telah diterima dalam keadaan baik.
Tentu bukan dari saya seorang buku-buku pengganti didapatkan. Viralnya kejadian tersebut tentu mengundang keprihatinan banyak orang yang juga ingin membantu dan mendukung lapak baca.
Kegiatan penguatan literasi masyarakat yang diupayakan melalui lapak baca gratis memang sudah sejawarnya didukung. Upaya memperkuat pengetahuan warga dengan buku mestinya disambut dengan baik, bukan justru dipersulit. Hadirnya buku-buku yang bisa diakses lebih mudah di ruang publik mestinya dirayakan, bukan malah dimusuhi.
Diambilnya buku-buku dari lapak buku gratis tersebut serta tindakan-tindakan lain yang kurang simpatik seperti intimidasi memperlihatkan adanya ketakutan. Bukan takut pada orang-orang yang menjadi penggerak lapak baca. Bukan pada kegiatan literasi yang diadakan. Ketakutan terbesar yang dirasakan oleh pihak-pihak yang tidak simpatik  barangkali adalah pada buku-bukunya.
Aneh tapi nyata, begitulah adanya. Pada era demokrasi di negara yang konon ingin menjadi maju pada 2045, buku ternyata masih menjadi salah satu sumber ketakutan bagi sebagian kalangan.
Toko-toko buku memang tidak dilarang. Buku-buku boleh dicetak dan diterbitkan. Akan tetapi saat buku-buku sampai di tangan masyarakat dan mulai dibaca, di situlah kekhawatiran dan ketakutan bisa muncul. Â Buku seolah barang berbahaya dan terlarang seperti narkoba yang perlu dijauhkan dari tengah masyarakat.
Entah apa alasan utama orang-orang alergi pada buku dan menjadi ketakutan saat buku-buku banyak dibaca oleh masyarakat. Padahal, setiap buku yang dibaca justru bisa mendatangkan banyak manfaat bersama.
Masyarakat yang gemar membaca buku akan menguat literasinya, termasuk literasi keuangan, sehingga tidak mudah terperosok ke dalam jebakan judi online dan pinjama nonline. Dengan demikian pemerintah dan aparat tidak akan kerepotan melawan para mafia judi. Sebab masyarakat yang kuat literasinya sanggup membentengi dan melawan dengan pengetahuan yang mereka dapatkan dari buku.
Masyarakat yang menggenggam buku akan mampu memahami pentingnya pentingnya menjaga lingkungan sehingga bisa mengelola sampah dan tidak membuangnya sembarangan. Dengan demikian pemerintah-pemerintah daerah tidak akan kewalahan menangangi tumpukan sampah yang menggunung dan berceceran di jalanan.
Buku-buku pula yang akan membuat masyarakat bisa lebih memahami dampak buruk kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik buruk tersebut. Dengan demikian akan lebih banyak sumber daya dan dana negeri ini yang terselematkan. Kualitas pembangunan pun bisa ditingkatkan tanpa harus negara selalu meminta hutang.
Masyarakat yang tercerahkan oleh buku  akan bisa membedakan apa yang buruk dan apa yang baik. Buku membuat peradaban suatu masyarakat semakin maju sehingga bisa menentukan mana yang mesti diikuti dan mana yang harus ditinggalkan. Siapa yang perlu diteladani dan siapa yang sebaiknya jangan diikuti.
Buku menjadikan masyarakat semakin kreatif, inovatif dan kompetitif. Karakter tersebut merupakan modal besar bagi kemajuan suatu bangsa.
Lantas mengapa ada pihak-pihak yang takut dengan buku? Apakah mereka tidak menghendaki kemajuan peradaban masyarakat dan bangsanya? Takut masyarakatnya menjadi kompetitif? Khawatir masyarakat menjadi bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk?
Katanya ingin menjadi negara maju, kok takut dan alergi pada buku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H