Usai memarkir sepeda, seorang penjual saya dekati. "Cenil kalih lupis setunggal", saya katakan itu kepada ibu penjual yang ramah. Ia pun segera menyiapkan apa yang saya pesan. Tangan yang terbungkus sarung plastik cekatan mengambil beberapa lembar daun pisang. Di atasnya ia tambahkan cenil dan lupis, lalu dituangkan sesendok cairan kental gula merah beraroma harum. Hanya Rp4000 saya perlu membayar cenil dan lupis tersebut.
Bekal sarapan pertama di tahun yang baru telah saya dapatkan. Cenil dan lupis selalu bisa memuaskan selera jadul saya. Terutama cenil yang sudah saya gemari sejak kecil. Â Bukan jajanan yang mengeyangkan, tapi selalu menyenangkan menikmati cenil. Semoga jajanan tradisional seperti ini tetap lestari. Tetap banyak orang yang membuatnya dan tetap digemari.
Saya kembali mengayuh. Pagi semakin hangat, jalanan semakin hidup, aroma polusi udara pun mulai tercium. Para pesepeda lain ikut mengisi jalanan. Beberapa pelari tak mau kalah. Libur awal tahun nampaknya menjadi awal bagi banyak orang untuk menetapkan langkah-langkah baru yang lebih baik. Mereka yang menghendaki hidup lebih sehat menjadikan hari pertama 2025 sebagai tonggak sejarah. Sebab ada sebuah petuah atau pedoman yang berbunyi kurang lebih: "Apa yang kamu alami pertama saat bangun di pagi hari menentukan warna sepanjang harimu. Bagaimana kamu memulai hari pertama di awal tahun bisa menjadi gerbang dan rupa perjalananmu sepanjang tahun".
Sepeda berhenti lagi. Kali ini saya terpikat oleh seorang penjual susu yang kekhasannya sudah melegenda. Gerobak sepeda warna birunya sedang dikerumuni beberapa orang dewasa dan anak-anak. Saya putuskan bergabung bersama mereka.
Susu dan yoghurt aneka rasa menumpuk dalam dua kotak es. Pada kotak pertama dijumpai kemasan gelas-gelas kecil. Sedangkan pada kotak kedua susu-susu dikemas dalam wadah plastik menyerupai bantal mungil.
"Sepuluh ribu tiga", jawab penjual saat saya tanyakan harga susu. Ada rasa strawberry, vanila, moka, dan coklat. Saya pun mengambil tiga yang pertama sambil menyodorkan selembar uang. Satu gelas saya minum saat itu juga. Rasanya segar karena tak cuma mencecap susu, tapi juga meneguk kenangan lama yang sejenak kembali terputar di ingatan. Benar-benar susu yang mengandung gizi sekaligus memori.
Energi seolah terisi lagi, roda sepeda pun kembali berputar. Sambil terus mengayuh saya menggumamkan lirih lagu kesukaan. Berhenti di lampu merah, saya pun berhenti bergumam. Khawatir suara fals saya mengganggu pengguna jalan lainnya. Lepas dari lampu merah sepeda meluncur lagi. Saya pun meneruskan nyanyian yang sempat tertunda.Â
Tak terasa saya sudah menempuh jalan pulang. Menuju utara jalanannya sedikit menanjak. Lelah mulai terasa, tapi keringat membuat saya menikmati perjalanannya. Sampai kemudian di sebuah toko bahan makanan saya berhenti. Tempat ini memang sudah saya tetapkan untuk disinggahi dalam arah pulang untuk membeli jeruk dan jeruk peras. Satu kilogram jeruk peras saja jumpai label harganya Rp15.000. Sementara jeruk seharga Rp20.000. Saya tidak mengambil tepat satu kilogram. Setelah ditimbang masing-masing jeruknya, di kasir saya hanya membayar Rp19.000 untuk keduanya.