Mengeksploitasi memori kolektif memberi jalan dan kekuatan yang efektif bagi tegaknya suatu rezim. Beberapa negara di bawah kekuasaan yang nyaris absolut menunjukkan bagaimana memori kolektif yang dipadukan dengan propaganda berhasil menyingkirkan sistem demokrasi.
Salah satu metodenya ialah dengan menyerukan terus menerus memori negatif tentang kegagalan demokrasi masa lalu yang membuat politik dan ekonomi tidak stabil sehingga rakyat menderita. Melalui mesin propaganda yang disokong oleh media dan internet, rezim yang mengeksploitasi memori kolektif semacam itu berhasil meyakinkan masyarakat bahwa diperlukan sistem kekuasaan lain untuk menggantikan demokrasi yang traumatik.
Bagaimana jika masyarakat tidak memiliki memori kolektif yang signifikan tentang kegagalan atau pengalaman buruk demokrasi? Sebaliknya, memori kolektif yang ada justru berupa catatan sejarah tentang trauma kekuasaan yang absolut dan otoriter.Â
Caranya ialah dengan pengalihan sejarah. Rezim yang berkuasa dengan berbagai upaya berbiaya mahal akan memproduksi pengalaman-pengalaman baru sebagai "sejarah baru" untuk menandingi memori kolektif masyarakat.
Tanda Bahaya
Indonesia meski sudah menempuhi era demokrasi selama lebih dari 25 tahun terhitung sejak reformasi dan penggulingan orde baru pada 1998, nyatanya belum lepas dari bayang-bayang kembalinya rezim yang antidemokrasi. Bahkan, tanda-tandanya nampak sejak beberapa tahun silam dan kembali menguat saat ini.
Upaya memanipulasi memori kolektif terus ditempuh. Mengeksplotasi kelemahan sistem demokrasi dengan alasan berbiaya mahal dan tidak efisien berulang kali didengungkan. Harapannya masyarakat bisa diyakinkan bahwa demokrasi mendatangkan banyak kerugian.
Pada era yang lalu, upaya semacam itu dicoba oleh sejumlah pihak termasuk pembantu Presiden Jokowi lewat wacana penghapusan pilkada atau pemilihan langsung serta perpanjangan masa jabatan presiden. Kini pada era Presiden Prabowo gagasan menghilangkan pemilihan langsung oleh rakyat dihidupkan lagi. Bahkan, upayanya lebih serius karena pertama-tama didengungkan oleh Presiden Prabowo sendiri, kemudian disambut dan diamini oleh anggota DPR serta sejumlah menteri.
Gagasan kepala daerah dipilih oleh DPRD atau ditunjuk oleh presiden merupakan upaya memusatkan kekuasan sekaligus mengurangi kontrol dan partisipasi masyarakat. Secara bertahap kedaulatan di tangan rakyat diambil alih oleh penguasa yang juga mengendalikan semua perangkat negara di bawah kekuasaanya. Maka argumen bahwa pemilihan oleh DPRD sama-sama demokratis tidak akan seperti yang diucapkan.
Argumen bahwa pemilihan langsung berbiaya mahal lebih nampak jelas sebagai bagian propaganda untuk memanipulasi memori kolektif. Seolah-olah masyarakat Indonesia memiliki trauma yang amat besar terhadap pilkada dan demokrasi secara umum. Padahal, pengalaman traumatik terbesar dalam memori kolektif masyarakat justru timbul karena sistem pemerintahan antidemokrasi seperti dijalankan oleh rezim orde baru yang otoriter.
Pada saat yang sama, untuk menandingi memori kolektif yang bisa membangktikan kesadaran masyarakat, penguasa melakukan rekayasa sosial dengan menciptakan pengalaman-pengalaman baru seperti makan siang gratis dan aneka bantuan. Investasi berbiaya mahal seperti ini lazim digunakan oleh rezim penguasa di negara-negara otokrasi untuk mencegah perlawanan oleh masyarakat yang lapar. Padahal yang menciptakan kelaparan di negara-negara otokrasi sebenarnya ialah penguasa itu sendiri.