Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang (Mungkin) Hilang dari Kompasiana: Ketegasan dan Keadilan

6 Desember 2024   08:12 Diperbarui: 6 Desember 2024   08:18 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana (dok. pribadi).

Tanpa kriteria yang jelas dan tegas, kurasi oleh Kompasiana akan menimbulkan ketidakdilan. Tanpa ketelitian dan ketelatenan, moderasi akan berubah menjadi pengekangan berkreativitas dan berekspresi.

Kemarin (5/12/2024) saya menayangkan sebuah artikel di Kompasiana berjudul “Indonesia Akan Punya Duta Anti-Goblok Nasional?”. Tayang pagi hari, artikel itu muncul wajar pada kelompok artikel pilihan. Adanya kompasianer yang memberikan reaksi nilai menandakan artikel tersebut telah dibaca oleh beberapa mata.

Namun, sebuah notifikasi menyertai penayangannya. Artikel itu dinyatakan melanggar ketentuan dan tidak bisa dipublikasikan. Sesaat hilang, tak lama kemudian muncul lagi dengan penyesuaian, yakni label Pilihan dicabut.

Saya mencari tahu apa yang terjadi. Memeriksa notifikasi untuk mendapatkan informasi pada bagian mana artikel tersebut telah menyalahi ketentuan. Sayangnya tidak ada informasi yang saya temui di sana. 

Melanjutkan ke formulir banding agar artikel ditinjau ulang pun hanya membawa saya ke kebingungan yang baru. Apa yang hendak saya tulis sebagai pembelaan? Tautan dan dokumen apa yang perlu saya unggah? Sementara saya tidak diberitahu letak masalahnya.

Pencabutan label Pilihan saya pahami sebagai bentuk sanksi bahwa artikel tersebut telah diperiksa oleh tim moderasi Kompasiana dan dinyatakan melanggar. Belakangan saya mendapat informasi bahwa “kemungkinan” artikel itu terdeteksi provokatif karena ada kata “Goblok”.

Sejujurnya saya heran bahwa artikel itu divonis dengan pertimbangan “kemungkinan”. Lebih mengherankan lagi Kompasiana menyimpulkan adanya unsur provokasi hanya berdasarkan deteksi terhadap satu kata, yakni “Goblok”. 

Padahal jika dibaca lengkap artikel tersebut merupakan tinjauan dari kebiasaan pengangkatan-pengangkatan duta di Indonesia. Seperti Duta Anti Judi Online, Duta Pancasila dan sebagainya. Bahwa para duta diangkat bisa melalui jalur prestasi maupun kontroversi. Lantas saya menyinggung kemungkinan pengangkatan Miftah Maulana sebagai duta mengingat kontroversi yang baru saja dibuatnya saat berceramah.

Apakah Kompasiana menghendaki istilah yang lebih halus selain “Goblok”? Entahlah karena sekali lagi pemberitahuan pelanggaran tidak disertai alasan rinci. Apakah jika saya menayangkan ulang dengan mengganti kata “Goblok” menggunakan “Bodoh” akan mengubah penilaian?

Lagipula sanksi kepada artikel itu berupa “kemungkinan” adanya provokasi. Jadi Kompasiana pun belum yakin betul sehingga informasinya berupa “kemungkinan” dan bukan “kepastian”.

Vonis kepada artikel yang dianggap provokatif tersebut tidak melegakan saya. Sebab artikel tersebut hanya dimoderasi dengan pencabutan label Pilihan. Saya akan lebih lega jika artikel tersebut dihapus. Sebab itu mencerminkan kepastian dan kejelasan.

Pelanggaran provokasi bagi saya bukan hal ringan. Sama seriusnya dengan menulis hoaks. Artikel jika terbukti memuat provokasi seharusnya dihapus sesuai ketentuan Kompasiana yang menyebut “Tidak Dapat Dipublikasikan”.

Menayangkan kembali artikel dengan hanya mencabut label Pilihan malah menandakan ketidaktegasan Kompasiana. Ada kesan Kompasiana memberi toleransi pada artikel-artikel yang memuat provokasi. Atau Kompasiana memang belum memiliki kriteria yang jelas untuk mengkategorikan tingkat pelanggaran?

Sisi lain dalam benak saya pun terusik. Seolah Kompasiana sedang mengampuni saya dan berkata: “Begini lho, artikel anda melanggar dan provokatif. Sebenarnya tidak bisa tayang, tapi kami berbaik hati, jadi kali ini bisa tayang, tapi dicabut label Pilihannya ya”.

Bukan seperti itu cara menerapkan  aturan dan saksi. Hukuman bagi artikel yang melanggar aturan dan tidak bisa dipublikasikan, apalagi telah dianggap provokatif, menurut saya hanya satu: Dihapus. 

Kompasiana jangan berkompromi dengan artikel provokatif, hoaks, dan yang serupa. Sebaliknya, jika tidak ditemukan pelanggaran seperti yang dimaksud, maka artikel tersebut perlu dipulihkan seperti pertama kali tayang. Sayangnya itu tidak terjadi. 

Sistem kurasi atau sensor yang dilakukan oleh Kompasiana dengan mendeteksi satu kata untuk menarik “kemungkinan” kesimpulan terhadap keseluruhan isi telah menimbulkan kerugian ganda bagi saya dan mungkin penulis lainnya.

Pertama, hilang kesempatan mengekspresikan gagasan sesuai dengan kreativitas yang saya kehendaki. 

Kan artikelnya muncul lagi, cuma dicabut label Pilihannya?

Itulah kerugian kedua. Sebagai orang yang selama ini peduli terhadap keberadaan artikel-artikel hoaks, click bait, provokasi dan sejenisnya di Kompasiana, saya merasa risih menjumpai artikel provokasi di halaman profil saya sendiri. Itu sebabnya akhirnya saya sendiri yang menghapus artikel tersebut. Paling tidak saya sudah tegas pada diri sendiri untuk tidak berkontribusi mencemari Kompasiana dengan tulisan provokatif.

Saya tidak mau ikut menolerir artikel provokatif, hoaks dan sebagainya. Jika tidak bisa dipublikasikan di Kompasiana, maka artikel itu pun tidak boleh ada di halaman profil saya. Malu rasanya memelihara artikel yang divonis melanggar aturan. Meski pelanggaran itu  berdasar “kemungkinan”.

Bingung mengisinya (dok.pribadi).
Bingung mengisinya (dok.pribadi).

Ketegasan  memang timbul tenggelam di Kompasiana. Malah menurut pengalaman dan pengamatan saya Kompasiana cenderung longgar dalam menyaring artikel-artikel tertentu. 

Saya lumayan sering memanfaatkan fitur “laporkan” di Kompasiana. Dari pengalaman dan pengamatan itu saya menjumpai ketikdakonsistenan Kompasiana. Pada artikel tentang Lionel Messi yang bermain di Liga Indonesia, Pelatih Vietnam yang Dipecat, Mourinho dan Timnas Indonesia, misalnya. Kompasiana lumayan lama menetapkan sanksi. Artikel-artikel populer tersebut tetap berkibar selama beberapa hari bahkan beberapa minggu sejak dilaporkan mengandung hoaks. Bahkan, saya mengingat artikel tentang Pelatih Vietnam yang Dipecat bertahan hingga satu bulan lamanya.

Pada kasus-kasus tersebut Kompasiana sangat mudah kecolongan. Artikel-artikel yang memuat hoaks dan click bait sering lolos begitu saja. Butuh waktu lama pula bagi Kompasiana untuk memeriksa. Apa sebabnya saya kurang tahu. Barangkali karena artikel-artikel tersebut menggunakan kata atau judul yang sopan sehingga lulus kurasi.

Berkebalikan dengan kejadian yang kebetulan menimpa artikel saya. Kompasiana dengan cepat mendeteksi pelanggaran dan menetapkan sanksi berdasarkan kata “Goblok” yang dianggap provokatif. Sementara isinya mungkin belum dihayati secara menyeluruh.

Ketimpangan seperti di atas layaknya ketidakadilan. Metode kurasi, moderasi, atau sensor yang sedang dikembangkan oleh Kompasiana sekarang memang maksudnya baik. Yakni untuk mempercepat penyaringan artikel guna mengimbangi banyak dan cepatnya aliran artikel yang masuk. Tapi tanpa standar yang terukur, kehendak baik tersebut justru mendatangkan kerugian bagi Kompasianer.

Maka jika nantinya metode penyaringan yang baru akan diterapkan, ada beberapa hal yang mesti dipenuhi oleh Kompasiana.

Pertama, Kompasiana harus memiliki kriteria yang jelas tentang pelanggaran-pelanggaran dan sanksinya. Perlu pula Kompasiana memetakan dan mengidentifikasi secara komprehensif terlebih dahulu pola serta kecenderungan artikel menurut kategorinya. Sebab tren pelanggaran artikel olahraga mungkin berbeda dengan artikel politik, berbeda dengan pelanggaran artikel humaniora dan seterusnya. Sistem moderasi Kompasiana perlu diperkaya terlebih dahulu dengan perbendaharaan tren pelanggaran yang khas semacam itu.

Setelah ada kriteria yang jelas, Kompasiana perlu tegas menerapkannya. Tanpa adanya “kejelasan” dan “ketegasan”, penyaringan hanya akan menimbulkan ketidakadilan.

Kedua, ketelitian dan ketelatenan tim moderasi wajib ditingkatkan. Sikap teliti dan telaten diperlukan untuk mengurangi tingkat kecerobohan yang mungkin dilakukan oleh mesin deteksi dan identifikasi otomatis dalam menangkap kata-kata tertentu yang secara instan dijadikan dasar pelanggaran suatu artikel. Tanpa sikap “teliti” dan “telaten” dari manusia, sistem moderasi oleh mesin justru mengekang kreativitas dan ekspresi Kompasianer.

Tulisan yang dimaksudkan sebagai masukan ini saya buat dan tayangkan pada Jumat, 6 Desember 2025. Hari di mana saya sebenarnya telah merencanakan untuk menayangkan artikel “Nelangsa Gadis Pantai dalam Jerat “Kawin Silang” Feodalisme dan Eksploitasi Seks”. 

Memang judulnya agak rumit, walau isinya sederhana. Artikel itu semacam ringkasan setelah membaca buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Namun, urung saya tayangkan sekarang. Sebab ada kemungkinan artikel itu akan divonis melanggar karena memuat kata “Gadis”, “Kawin” dan “Seks”. 

Jika itu terjadi saya akan direpotkan untuk menulis sanggahan di formulir banding atau peninjauan. Bisa jadi sanggahannya akan sama panjangannya dengan artikelnya. Saya juga bingung harus mengirimkan tautan jurnal seperti apa pada kolom tautan dan unggahan.

Sekarang saya masih mencoba menentukan judul alternatif. Mungkin akan saya tayangkan lain hari saat sudah mendapatkan judul yang lebih sopan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun