Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Malaikat "Penjual Es Teh" Membuka Kedok Si Penjual Agama

4 Desember 2024   09:47 Diperbarui: 4 Desember 2024   09:55 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartun sindiran yang dibuat dan diunggah oleh micecartoon.co.id di Instagram (dok. pribadi).

Pada suatu malam di negara yang warganya dikenal sangat relijius, orang-orang berkerumun di sekeliling panggung yang diyakini bisa melimpahkan banyak berkah. Ketinggian panggung itu seolah menyesuaikan kehormatan orang-orang yang menempatinya.

Dan memang begitu yang lazim dan dimaklumi oleh kebanyakan warga di negara relijius ini. Jamaah pengajian berada di emperan. Duduk dengan alas seadanya. Itu tak mengapa.

Sementara para penceramaah yang kadang sebenarnya tidak terlihat alim-alim amat, tapi karena personanya telah dibangun dengan sangat wangi, maka mereka dianggap suci dan memiliki kebenaran pada semua aspek, menempati panggung beralas permadani. Duduk pada bantalan empuk. Disuguhi minuman dan buah-buahan segar. Seringkali di belakangnya berdiri pengawal baik aparat maupun ormas berseragam semimiliter.

Para penceramah itu suka mengenakan jas dan aksesoris mencolok. Seakan ingin mempertegas bahwa mereka perlu tampil dan dilihat berbeda dari jamaahnya yang rakyat biasa. Bahwa mereka adalah para penceramah yang tidak bisa disamakan dengan khalayak kebanyakan. Mereka adalah "ulama", "ustaz", gus", dan seterusnya. Ilmu, kedudukan dan status mereka tidak sama dengan kebanyakan rakyat yang masih perlu belajar dan diajar agama seumur hidup.

Dan lagi-lagi warga di negara yang dikenal sangat relijius ini menerima keadaan itu. Ketundukan mereka pada para penceramah agama diyakini sepenuh jiwa sebagai salah satu bentuk ketaatan pada Tuhan. Apalagi jika si penceramahnya sosok yang terkenal dan memiliki gelar tertentu. Ditambah si penceramahnya dekat dengan pejabat, petinggi, dan aparat pembesar negeri. Apalagi jika si penceramahnya telah resmi diangkat sebagai utusan penguasa yang diberi predikat setara menteri.

Maka otomatis si penceramah perlu diperlakukan istimewa. Tempatnya berceramah tidak boleh seadanya. Tempat duduknya harus lebih tinggi. Sorot lampunya harus lebih terang dari sekelilingnya. Agar para jamaah bisa melihat betapa unggul personanya. Betapa rapi baju, jas, dan penampilannya. Di dekat tempat ia berceramah perlu ada penyejuk udara, minimal kipas angin. Selain agar si penceramah tidak kegerahan juga supaya wangi parfumnya bisa ikut dibaui oleh para jamaah. Sungguh mulia ia karena mau berbagi keharuman surga dengan warga biasa.

Jika hujan, panggung bagi si penceramah harus terlindung. Tak mengapa jamaah basah asal bisa mendengarkan ajaran-ajaran mulia penyejuk rohani dari si penceramah. 

Malam itu pun si penceramah kembali menggelar siraman rohani. Didampingi para pemuka lainnya yang sama-sama menduduki panggung, sebelah menyebelah dan di belakangnya. Semua yang di atas panggung nampak betul sebagai sosok alim. Kerapiannya tak berbeda dengan si penceramah. Dan bagi banyak warga di negara relijius ini penampilan seperti mereka itulah yang pantas dijadikan panutan dan penuntun urusan agama.

Omongan jika keluar dari orang-orang berpenampilan seperti si penceramah akan dipatuhi dan disebarkan kepada para tetangga. Ujaran jika keluar dari orang-orang berpenampilan alim seperti mereka akan dianggap sebagai petuah yang tak perlu ditinjau lagi kebenarannya. Dan memang di negara yang dikenali relijius ini, daya kritis orang-orangnya mudah lumpuh di hadapan para penceramah.

Es teh (dok. pribadi).
Es teh (dok. pribadi).

Si penceramah yang telah menduduki tahta tinggi itu terus bicara. Jamaah pun terus menyimak sembari memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan sebanyak-banyaknya ajaran si penceramah. 

Lazimnya kerumunan di negara yang warganya sangat relijius ini, selalu ada orang-orang yang menyuguhkan makanan dan minuman, tapi tidak gratis. Mereka adalah pencari nafkah yang berjihad untuk menghidupi keluarga di rumah dan di kampung. 

Selaris-larisnya para penjual makanan dan minuman di tengah kerumunan, tidak akan pernah uangnya lebih banyak dari si penceramah. Es Teh mereka tawarkan murah saja. Sebotol air mineral pun masih wajar harganya. Mungkin dinaikkan sedikit, tapi masih jauh lebih murah dibanding minuman dan buah-buahan yang terhidang di depan si penceramah.

Dan memang para penjual es teh di tengah kerumunan tidak perlu dicurigai akan mengeruk keuntungan setinggi langit. Mereka bukan kapitalis. Bahkan pada banyak peristiwa demonstrasi, para penjual es teh tak memedulikan keuntungan. Tak jarang mereka membagi es teh kepada warga pendemo. 

Sayangnya jihad mencari nafkah yang ditempuh oleh penjual es teh seringkali dianggap remeh. Mereka dipandang sebelah mata oleh warga-warga di negara yang dikenal relijius ini. Mereka ditertawakan karena tetap menjual es teh, padahal sedang musim hujan. Mereka dicap sebagai penyebab utama anak-anak kecil batuk, pilek, dan demam. Mereka dituduh sebagai penyumbang utama sampah plastik yang berceceran di jalanan. 

Dan ironisnya, penjual es teh yang sedang berjihad mencari nafkah ini dicemooh dan ditertawakan sebagai orang goblok. Dicemooh dan ditertawakan bukan oleh penjual wedang ronde atau jagung rebus. Melainkan oleh si penceramah dan kawanannya yang malam itu juga sedang berjualan agama.

Es teh (dok. pribadi).
Es teh (dok. pribadi).

Gerimis telah reada. Menyisakan hawa dingin membungkus malam. Kerumunan acara siraman rohani telah usai beberapa jam lampau. Penjual es teh itu sudah jauh langkahnya meninggalkan tempatnya dicemooh. Di pekatnya malam sosoknya tiba-tiba dipenuhi pendar cahaya. Entah dari mana datangnya cahaya itu. Sebab tak ada lampu besar di tepian jalan yang dilaluinya menuju rumah.

Cahaya itu terang melingkungi penjual es teh. Sementara rumah-rumah sudah menutup semua pintu dan jendelanya sehingga tak seorang pun melihat saat tubuh penjual es teh yang berpendar itu tiba-tiba menghilang. Melesat menuju ketinggian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun