Pada suatu malam di negara yang warganya dikenal sangat relijius, orang-orang berkerumun di sekeliling panggung yang diyakini bisa melimpahkan banyak berkah. Ketinggian panggung itu seolah menyesuaikan kehormatan orang-orang yang menempatinya.
Dan memang begitu yang lazim dan dimaklumi oleh kebanyakan warga di negara relijius ini. Jamaah pengajian berada di emperan. Duduk dengan alas seadanya. Itu tak mengapa.
Sementara para penceramaah yang kadang sebenarnya tidak terlihat alim-alim amat, tapi karena personanya telah dibangun dengan sangat wangi, maka mereka dianggap suci dan memiliki kebenaran pada semua aspek, menempati panggung beralas permadani. Duduk pada bantalan empuk. Disuguhi minuman dan buah-buahan segar. Seringkali di belakangnya berdiri pengawal baik aparat maupun ormas berseragam semimiliter.
Para penceramah itu suka mengenakan jas dan aksesoris mencolok. Seakan ingin mempertegas bahwa mereka perlu tampil dan dilihat berbeda dari jamaahnya yang rakyat biasa. Bahwa mereka adalah para penceramah yang tidak bisa disamakan dengan khalayak kebanyakan. Mereka adalah "ulama", "ustaz", gus", dan seterusnya. Ilmu, kedudukan dan status mereka tidak sama dengan kebanyakan rakyat yang masih perlu belajar dan diajar agama seumur hidup.
Dan lagi-lagi warga di negara yang dikenal sangat relijius ini menerima keadaan itu. Ketundukan mereka pada para penceramah agama diyakini sepenuh jiwa sebagai salah satu bentuk ketaatan pada Tuhan. Apalagi jika si penceramahnya sosok yang terkenal dan memiliki gelar tertentu. Ditambah si penceramahnya dekat dengan pejabat, petinggi, dan aparat pembesar negeri. Apalagi jika si penceramahnya telah resmi diangkat sebagai utusan penguasa yang diberi predikat setara menteri.
Maka otomatis si penceramah perlu diperlakukan istimewa. Tempatnya berceramah tidak boleh seadanya. Tempat duduknya harus lebih tinggi. Sorot lampunya harus lebih terang dari sekelilingnya. Agar para jamaah bisa melihat betapa unggul personanya. Betapa rapi baju, jas, dan penampilannya. Di dekat tempat ia berceramah perlu ada penyejuk udara, minimal kipas angin. Selain agar si penceramah tidak kegerahan juga supaya wangi parfumnya bisa ikut dibaui oleh para jamaah. Sungguh mulia ia karena mau berbagi keharuman surga dengan warga biasa.
Jika hujan, panggung bagi si penceramah harus terlindung. Tak mengapa jamaah basah asal bisa mendengarkan ajaran-ajaran mulia penyejuk rohani dari si penceramah.Â
Malam itu pun si penceramah kembali menggelar siraman rohani. Didampingi para pemuka lainnya yang sama-sama menduduki panggung, sebelah menyebelah dan di belakangnya. Semua yang di atas panggung nampak betul sebagai sosok alim. Kerapiannya tak berbeda dengan si penceramah. Dan bagi banyak warga di negara relijius ini penampilan seperti mereka itulah yang pantas dijadikan panutan dan penuntun urusan agama.
Omongan jika keluar dari orang-orang berpenampilan seperti si penceramah akan dipatuhi dan disebarkan kepada para tetangga. Ujaran jika keluar dari orang-orang berpenampilan alim seperti mereka akan dianggap sebagai petuah yang tak perlu ditinjau lagi kebenarannya. Dan memang di negara yang dikenali relijius ini, daya kritis orang-orangnya mudah lumpuh di hadapan para penceramah.