Si penceramah yang telah menduduki tahta tinggi itu terus bicara. Jamaah pun terus menyimak sembari memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan sebanyak-banyaknya ajaran si penceramah.Â
Lazimnya kerumunan di negara yang warganya sangat relijius ini, selalu ada orang-orang yang menyuguhkan makanan dan minuman, tapi tidak gratis. Mereka adalah pencari nafkah yang berjihad untuk menghidupi keluarga di rumah dan di kampung.Â
Selaris-larisnya para penjual makanan dan minuman di tengah kerumunan, tidak akan pernah uangnya lebih banyak dari si penceramah. Es Teh mereka tawarkan murah saja. Sebotol air mineral pun masih wajar harganya. Mungkin dinaikkan sedikit, tapi masih jauh lebih murah dibanding minuman dan buah-buahan yang terhidang di depan si penceramah.
Dan memang para penjual es teh di tengah kerumunan tidak perlu dicurigai akan mengeruk keuntungan setinggi langit. Mereka bukan kapitalis. Bahkan pada banyak peristiwa demonstrasi, para penjual es teh tak memedulikan keuntungan. Tak jarang mereka membagi es teh kepada warga pendemo.Â
Sayangnya jihad mencari nafkah yang ditempuh oleh penjual es teh seringkali dianggap remeh. Mereka dipandang sebelah mata oleh warga-warga di negara yang dikenal relijius ini. Mereka ditertawakan karena tetap menjual es teh, padahal sedang musim hujan. Mereka dicap sebagai penyebab utama anak-anak kecil batuk, pilek, dan demam. Mereka dituduh sebagai penyumbang utama sampah plastik yang berceceran di jalanan.Â
Dan ironisnya, penjual es teh yang sedang berjihad mencari nafkah ini dicemooh dan ditertawakan sebagai orang goblok. Dicemooh dan ditertawakan bukan oleh penjual wedang ronde atau jagung rebus. Melainkan oleh si penceramah dan kawanannya yang malam itu juga sedang berjualan agama.
Gerimis telah reada. Menyisakan hawa dingin membungkus malam. Kerumunan acara siraman rohani telah usai beberapa jam lampau. Penjual es teh itu sudah jauh langkahnya meninggalkan tempatnya dicemooh. Di pekatnya malam sosoknya tiba-tiba dipenuhi pendar cahaya. Entah dari mana datangnya cahaya itu. Sebab tak ada lampu besar di tepian jalan yang dilaluinya menuju rumah.
Cahaya itu terang melingkungi penjual es teh. Sementara rumah-rumah sudah menutup semua pintu dan jendelanya sehingga tak seorang pun melihat saat tubuh penjual es teh yang berpendar itu tiba-tiba menghilang. Melesat menuju ketinggian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H