"Jika sama-sama mencintai buku, mengapa masih perlu ada toleransi?"
Suatu kali saya bertanya ke seorang teman yang gemar membaca dan menyimpan banyak buku di rumahnya. "Bagaimana kalau ada orang yang meminjam buku darinya lalu meninggalkan lipatan di beberapa halaman bukunya?"
Ia menjawab tegas. "Kan ada pembatas buku". Pendek jawabannya dapat saya mengerti. Teman saya tidak senang melipat-lipat halaman buku. Maka ia pun tak suka jika ada orang yang meminjam buku lalu melipat halaman buku miliknya. Ia tergolong pecinta buku yang menghendaki kerapian sampai tingkat yang detail. Sementara saya termasuk golongan yang tidak mempermasalahkan jika halaman buku perlu dilipat sebagai tanda sampai sejauh mana buku itu telah dibaca.
Teman saya itu juga pembaca yang mengagumkan. Kebalikan dengan saya yang pembaca lambat, ia bisa rampung membaca sebuah buku dengan cepat. Buku setebal 300 halaman bisa selesai di tangannya dalam 2 atau 3 hari. Sedangkan saya perlu waktu lebih dari seminggu.Â
Perbedaan seperti itu menunjukkan adanya keragaman di antara para penikmat buku. Keragaman yang seringkali nampak sangat bertolak belakang karena cara orang memperlakukan buku atau bacaan bisa sangat berbeda satu sama lain.
Oleh karena itulah toleransi antar pecinta buku perlu dikembangkan. Orang-orang yang sama mencintai buku sangat mungkin memiliki pandangan, kebiasaan, dan sikap yang berbeda tentang buku. Memahami adanya keragaman tersebut akan membantu kita menghindari penghakiman-penghakiman buruk terhadap suatu kebiasaan membaca yang dimiliki orang lain.Â
Untuk mengetahui sejauh mana para pecinta buku bisa berbeda dalam berbagai hal, Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez memberi gambaran yang baik.
Dalam buku itu diceritakan semua tokohnya merupakan orang yang gemar membaca dan hobi mengoleksi buku. Namun, satu sama lain menunjukkan perbedaan. Lewat pertemuan demi pertemuan, para tokohnya terlibat interaksi yang mengungkap bagaimana mereka membaca dan memperlakukan buku.
Seorang tokoh dalam buku tersebut digambarkan sebagai orang yang sangat gila buku. Ia terobsesi mengumpulkan buku secara terus menerus. Selain membeli dari toko buku, ia berani membayar mahal buku-buku cetakan pertama di tempat lelang buku. Ia rela tinggal di loteng demi memberi tempat bagi buku-bukunya. Seluruh ruangan rumahnya disesaki dengan rak-rak dan lemari buku. Mobil pun ia jual agar garasinya bisa digunakan sebagai ruangan tambahan untuk menyimpan buku.
Tokoh yang sangat gila buku tersebut bersahabat dengan seorang yang juga kutu buku. Bedanya, kutu buku yang satu ini sedikit lebih rasional. Sama-sama memiliki rumah yang disesaki buku, ia mengkritik kebiasaan tokoh pertama yang suka membayar mahal untuk buku-buku cetakan pertama. Dibanding mengeluarkan banyak uang untuk buku cetakan pertama, sang kutu buku memilih membeli cetakan-cetakan terbaru yang lebih terjangkau. Oleh karena itu, sang kutu buku menganjurkan sahabatnya untuk berhenti memburu buku di tempat-tempat pelelangan yang mematok harga sangat tinggi.
Cerita berkembang dengan munculnya tokoh-tokoh berikutnya yang tak kalah menyukai buku-buku. Interaksi lebih jauh yang melibatkan semua tokoh dalam buku ini mengungkap banyak perbedaan di antara mereka. Selain yang sudah disebutkan di atas, perbedaan-perbedaan juga meliputi hal-hal berikut.
Mencoret Halaman, Ya atau Tidak?
Seorang tokoh di Rumah Kertas memiliki kebiasaan meninggalkan coretan-coretan di halaman buku yang dibacanya. Banyak coretan dibuat sampai memenuhi margin halaman buku. Ia punya alasan melakukannya.Â
Baginya coretan-coretan di buku merupakan bentuk keintiman antara buku dan pembacanya. Menurutnya pula buku yang baik ialah yang merangsang pembacanya untuk berpikir. Maka setiap menjumpai bacaan yang menarik, ia memberi catatan, komentar atau tanda garis langsung di halaman tersebut.
Namun, kebiasaan itu tidak disukai oleh sahabatnya yang juga gemar membaca. Sang sahabat lebih suka membiarkan halaman buku tetap rapi dan bersih. Jika perlu memberikan komentar atau catatan, sang sahabat menuliskannya pada selembar kertas lalu menyelipkannya di antara halaman buku.
Bagi sang sahabat kebiasaan mencorat-coret halaman buku merupakan tindakan kasar. Sementara sang tokoh menganggap sahatnya "sok suci" karena menghendaki halaman buku tetap bersih.
Merapikan Margin, Menghilangkan Sejarah?
Termakan waktu, buku-buku akan mengalami perubahan fisik. Frekuensi dibuka, lama penyimpanan dan kondisi tempat penyimpanan membuat buku akan kotor dan usang. Debu dan kutu pun ikut menikmati buku. Biasanya jejaknya lebih jelas pada bagian tepi atau margin halaman.
Bagi beberapa pecinta buku memandangi bagian buku yang kotor dan usang menimbulkan kesan kurang nyaman. Cara yang biasa dilakukan ialah merapikan bagian tersebut dengan menyisir atau memotong margin buku agar kembali terlihat rapi serta bersih.
Seorang tokoh dalam Rumah Kertas ternyata membenci kebiasaan menyisir margin buku. Tindakan tersebut mengurangi nilai sejarah sebuah buku. Padahal setiap sudut dan bagian buku merupakan kesatuan yang tak terpisahkan sejak awal buku itu ditulis, dicetak, dijual, dan diedarkan. Termasuk cover, jilid, serta lebar margin atas, bawah, dan samping setiap halamannya. Memotong margin halaman buku dengan tujuan menghilangkan bagian yang kotor atau usang sama artinya menghilangkan sebagian sejarah buku tersebut.
Membaca Sambil Bergumam
Banyak orang membaca dengan diam. Sebagian lainnya terbiasa membaca buku sambil berucap lirih membunyikan kata demi kata yang tertulis. Namun, membaca sambil bergumam seperti itu dianggap bisa mengganggu.
Seorang tokoh dalam Rumah Kertas menguraikan pembelaannya terhadap kebiasaan membaca sambil bergumam. Menurutnya, bergumam saat membaca bukan aktivitas mengeluarkan suara tanpa makna. Suara-suara lirih yang dibunyikan oleh pembaca pada dasarnya memiliki irama tertentu yang justru bisa menambah kekuatan cerita.
Irama-irama lirih yang digumamkan saat membaca bisa membuat cerita yang sebenarnya datar menjadi lebih menarik. Buku yang kalimat-kalimatnya biasa saja menjadi lebih hidup jika dibaca sambil berucap lirih.Â
Menyusun Buku Harus Berdasarkan Penulis?
Bagaimana cara menyusun buku yang paling baik? Para pecinta buku menyukai cara yang berbeda ketika menyusun buku-buku mereka. Ada yang membariskan buku berdasarkan ukuran, jenis, tema, dan nama penulis.
Dalam Rumah Kertas terjadi diskusi hangat tentang bagaimana sebaiknya buku-buku disusun. Menyusun berdasarkan penulis dianggap paling benar dan lazim. Buku-buku dari penulis yang sama dikumpulkan dalam satu kelompok.Â
Akan tetapi cara demikian mendapatkan gugatan. Seorang tokoh dalam Rumah Kertas menyampaikan pendapatnya bahwa ada banyak buku dari penulis-penulis berbeda ternyata "berkerabat". Buku-buku itu memuat kisah, cerita, dan tema pembahasan yang saling terkait dan melengkapi. Ada pula buku-buku yang isinya seperti anti-tesis atau bantahan dari buku lain.
Buku-buku yang memiliki "kekerabatan" seperti itu sebaiknya disatukan. Tak peduli penulisnya orang-orang yang berbeda, buku-buku sebaiknya disusun berdasarkan kekerabatannya.
Membaca dalam Terang atau Remang?
Kondisi cahaya bisa mempengaruhi kenyamanan, ketahanan, dan konsentrasi saat membaca buku. Sebagian orang memilih membaca dalam ruangan atau suasana terang cukup cahaya. Namun, tidak sedikit pula pecinta buku yang khusyuk membaca dalam ruangan temaram dengan lampu yang hanya menyorot bagian buku.
Seorang tokoh dalam Rumah Kertas memiliki kebiasaan membaca buku dalam terang. Cara itu dianggapnya paling baik dan ideal. Namun, seorang tokoh lainnya menunjukkan bahwa sedikit cahaya remang dari lilin ternyata bisa menciptakan kenikmatan dalam membaca.Â
Berkat pendar cahaya lilin, teks-teks yang tercetak dalam halaman buku nampak seperti jalur-jalur yang bersambungan. Setelah dihayati, jalur-jalur tersebut bagaikan penuntun yang mengarahkan pembaca untuk mengikuti ceritanya secara lebih fokus.
Membuat Katalog dan Indeks Koleksi
Para pecinta buku berpendapat bahwa bagian paling menyenangkan selama berpetualang bersama buku ialah saat mengumpulkan buku demi buku. Berhasil menemukan sebuah buku incaran akan membangkitkan antusiasme untuk mendapatkan buku-buku berikutnya. Bisa memasukkan sebuah buku baru ke dalam lemari koleksi menciptakan dorongan untuk menambah lagi sampai bagian lemari dan rak penyimpanan penuh.
Banyak di antara mereka juga mengandalkan dan percaya pada ingatannya tentang buku-buku yang telah dimiliki dan disimpan rapi. Mereka merasa tidak perlu membuat katalog atau indeks koleksi.Â
Namun, seorang tokoh dalam Rumah Kertas secara tegas menyarankan kepada pecinta buku untuk berhenti sejenak membeli buku-buku baru dan beralih mengalokasikan waktu dan tenaganya untuk menyusun katalog atau indeks koleksi buku. Menurutnya, keberadaan katalog atau indeks sama berharganya dengan koleksi buku. Oleh karena itu, seiring bertambahnya buku, seorang pecinta buku semestinya juga membuat katalog dan indeks untuk semua koleksinya.
Keberadaan katalog dan indeks koleksi awalnya dianggap remeh oleh seorang tokoh lainnya dalam Rumah Kertas. Sampai kemudian ia mulai mencoba membuat daftar buku-buku yang dimilikinya. Sayangnya di tengah upaya tersebut catatan-catatannya hangus terbakar dan ia tak mempunyai salinannya.
Pada kemudian hari ia mulai kesulitan saat mencari sebuah buku. Ia tahu buku itu ada di rumah koleksinya. Buku itu tidak hilang, tapi juga tidak bisa ditemukan. Ia ingat judul dan detail cover buku tersebut, tapi tidak ingat di sudut dinding dan baris mana buku itu berada.Â
Begitulah pentingnya katalog dan indeks koleksi. Sebuah buku tidak bisa dicari bukan karena hilang. Melainkan karena tidak bisa ditemukan.
Rumah Kertas bukan sekadar cerita tentang para pecinta buku. Bagi saya buku ini justru kental dengan pesan agar kita belajar menghargai kebiasaan membaca orang lain. Memahami bahwa setiap orang memiliki pandangan dan cara masing-masing dalam menikmati buku. Oleh karena itu, toleransi antar pecinta buku sama berharganya dengan mencintai buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H