Persekongkolan penguasa tak hanya dengan media. Anak Semua Bangsa juga menjabarkan persekongkolan serupa yang melibatkan perangkat hukum dan pengadilan. Tak henti-hentinya Minke dan Nyai Ontosoroh harus melawan pengadilan di mana jaksa dan hakimnya kompak menertawakan pribumi.Â
Orang-orang berkuasa mengubah ruang pengadilan menjadi panggung untuk menonton ketidakberdayaan pribumi. Jaksa dan hakim suka mengalihkan perkara ke masalah lain yang bisa lebih memberatkan pribumi. Dengan cara demikian pribumi ditakdirkan selalu kalah dan tak akan bisa menang melawan kepentingan kolonial.
Perangai pengadilan yang semacam itu terus terjadi pada era sekarang. Pengadilan bukan lagi tempat rakyat mencari keadilan. Sebaliknya justru menjadi arena yang mempertontonkan kekalahan demi kekalahan rakyat kecil. Kadang dijumpai dengan sangat terang orang-orang yang berkuasa dan para pihak yang bersekongkol tidak memiliki rasa malu untuk memperlihatkannya di hadapan masyarakat.Â
Hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah pada era sekarang merupakan kelanjutan dari peradilan kolonial seperti yang dialami oleh Nyai Ontosoroh dan Minke. Oleh karena itu perlu terus diingat ajaran Nyai Ontosoroh berikut: "Jangankan koran, Nak. Pengadilan dan hukum pun bisa dan boleh dipergunakan oleh penjahat-penjahat untuk melaksanakan maksudnya".
Menggunakan Aparat dan Polisi
Saat berkunjung ke tempat kelahiran Nyai Ontosoroh, Minke tidak sengaja bertemu dengan keluarga petani yang mengalami intimidasi. Pertemuan  itu memberi pengetahuan baru bagi Minke tentang kesengsaraan para petani dan pemilik lahan akibat kesewenang-wenangan pabrik gula yang mendapat dukungan pemerintah kolonial dan pejabat pribumi setempat.
Para petani dan pemilik lahan dipaksa menyewakan lahan mereka kepada pabrik gula. Aparat dikerahkan untuk mengintimidasi petani dan pemilik lahan yang menolak. Setelah tanahnya diberikan, para petani dan pemilik lahan ternyata menerima sewa yang jauh lebih kecil. Pabrik gula juga menggunakan lahan tersebut lebih lama dari masa sewa yang telah disepakati. Tak ada kompensasi kepada petani dan pemilik lahan. Mereka ketakutan dan tak berdaya menghadapi persekongkolan antara pengusaha gula, pemerintah kolonial dan pejabat pribumi lokal.
Praktik penjajahan atas lahan milik rakyat dan petani seperti pada era kolonial itu masih berlangsung di era modern sekarang. Cara yang digunakan pun tidak banyak berubah. Atas nama kelancaran investasi, penguasa menggelar karpet merah untuk investor. Aparat, baik militer dan polisi dikerahkan untuk memberi "rasa aman" bagi pengusaha.
Berbagai konflik lahan yang melibatkan petani lokal dan masyarakat adat mempertontonkan bagaimana penguasa dan aparat lebih berpihak pada pengusaha. Proyek-proyek pemerintah yang tak kalah ambisius juga mengorbankan masyarakat lokal. Ambil contoh food estate di Merauke, pemerintah mengerahkan banyak tentara seolah masyarakat lokal merupakan hama pengganggu.
Zaman memang telah berganti. Tapi tabiat penguasa, pejabat dan aparatnya ternyata tetap sama. Seperti kata Minke: "Polisi lebih dekat dengan pejabat daripada petani".
Membiarkan Rakyat Tetap Bodoh
Minke menyebut dirinya sebagai anak semua bangsa karena wawasan dan kesadarannya dibentuk lewat pertemuan-pertemuannya dengan orang-orang dari bangsa lain. Termasuk wawasan mengapa bangsanya selama ratusan tahun dikuasai kolonial, sementara bangsa-bangsa lain mampu bangkit.