Dalam banyak hal, Annelies dan Elisa lebih mudah menemukan Indonesia sebagai tanah airnya karena bumi inilah yang mereka injak dan lihat pertama kali sejak membuka mata sebagai anak manusia. Peneguhan jati diri ke-Indonesiaan oleh Annelies dan Elisa, meski sama-sama berujung nestapa, tapi ditempuh dalam kedekatan fisik yang erat.
Berbeda dengan para pemain keturunan yang jarak mereka dengan Indonesia terpaut dua benua. Waktu yang memisahkan mereka dengan bumi Indonesia sejauh siang dan malam. Oleh karenanya saat mereka bisa menemukan tanah airnya adalah Indonesia, hal tersebut merupakan satu kemenangan besar dalam hidup mereka. Menemukan dalam raga mereka ada jati diri dan jiwa sebagai orang Indonesia merupakan buah pencarian yang mereka pilih sendiri jalannya.Â
Para pemain keturunan di timnas sepakbola Indonesia menyadari bahwa mereka masih perlu untuk terus meneguhkan jati diri ke-Indonesiaan dalam jiwa dan raga masing-masing. Nama Indonesia yang telah kuncup dan tumbuh dalam sanubari perlu selalu dirawat kesuburannya. Oleh karena itu mereka selalu antusias ketika datang panggilan untuk membela timnas. Rasa cinta dan bahagia menjenguk tanah air Indonesia membuat mereka rela menempuh jarak siang dan malam antara dua benua. Pada saat itu mereka sesungguhnya tidak sekadar bertanding. Mereka pulang untuk menjenguk tanah air yang sebelumnya hanya mereka ketahui dari berita, cerita, dan foto kenangan orang tua.Â
Berbicara dengan bahasa Indonesia butuh waktu bagi mereka. Membiasakan dengan hidangan lokal juga bukan perkara satu dua hari. Namun tidak dengan itu identitas Indonesia dibentuk. Bagi para pemain pemain keturunan, setiap menit pertandingan yang mereka jalani di atas lapangan merupakan peneguhan jati diri sebagai anak bangsa Indonesia. Setiap kali mengenakan seragam garuda, semakin yakin bahwa mereka telah menemukan tanah airnya.
Sayangnya, selalu ada yang memandang para pemain keturunan dengan tatapan benci. Mereka dicurigai hanya menjadikan Indonesia sebagai pelampiasan hobi menendang dan mengejar bola. Seolah tanah dan air ini hanya boleh dicintai oleh "pribumi". Seakan garuda hanya boleh dirawat oleh anak kampung sendiri. Sedangkan mereka yang pulang sesekali itu tidak dianggap sebagai anak bangsa Indonesia.Â
Mereka hanya "Garuda Bule". Begitu kata seorang jurnalis senior dalam sebuah acara TV beberapa waktu lalu. Anak bangsa Indonesia dihakimi sebagai orang asing yang tak berhak membela Indonesia.
Jangan sampai nestapa Annelies dan Elisa terulang menimpa para "Garuda Bule". Jangan membuat mereka patah hati karena jati dirinya sebagai orang Indonesia dianggap hanya "buatan".Â
Jangan membuat mereka patah hati, merasa terusir karena tak dikehendaki. Padahal, baru saja mereka menemukan tanah airnya, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H