Walau lika-liku hidup sempat membukakan tabir tentang asal-usul orang tua kandungnya, Elisa tetap merasa sepenuhnya sebagai orang Indonesia. Ia senantiasa menjalani hari sambil meneguhkan ke-Indonesiaannya. Bekerja sebagai pramugari, ia bergaul akrab dengan teman-temannya yang masih sering menganggapnya sebagai gadis indo. Berbagai hal tentang Indonesia ia hayati, seperti membaca buku tentang kebudayaan Jawa. Dalam bergaul, Elisa juga menuruti adab sopan santun ketimuran.
Pertemuannya dengan seorang pemuda Jawa mempertebal keyakinan Elisa tentang jati dirinya sebagai orang Indonesia. Saat sang pemuda pujaan hati melamarnya, Elisa merasa hidupnya sebagai orang Indonesia akan sempurna. Tidak lagi ia akan dipandang sebagai warga keturunan. Sebab ia akan menjadi istri seorang laki-laki Jawa.Â
Namun, saat harapan dan keyakinan itu nampak makin nyata, Elisa dibuat patah hati yang amat dalam. Sang kekasih berkhianat dan menikahi wanita lain.Â
Elisa berusaha tabah menerima kepahitan hidup tersebut. Meski dipalu kecewa dan lara, perlahan ia bangkit menghadapi kenyataan. Pelajaran hidup telah dipetiknya. Kenangan itu disimpannya. Elisa melangkah kembali. Ia mengambil keputusan besar untuk menyusul keluarganya. Elisa meninggalkan Indonesia. Meninggalkan tanah air yang dicintai dan yang semula ingin ditinggali seumur hidupnya.Â
Annelies dan Elisa, keduanya mempelihatkan bahwa pencarian tanah air dan peneguhan jati diri bagi seorang manusia seringkali merupakan perjalanan hidup yang bernestapa. Pengorbanan menjadi seorang Indonesia perlu ditempuh melalui aneka cobaan dan ujian yang bergulir seiring waktu. Meski ujung pencarian dan semua pengorbanan berupa ketidakpastian, cinta yang besar telah menorehkan nama Indonesia dalam hati mereka.
Kurang lebih seperti itu pula pencarian tanah air dan peneguhan jati diri yang terjadi pada sejumlah pemain keturunan dalam tubuh timnas sepakbola Indonesia. Walau sebagian dari mereka mengaku bahwa memilih Indonesia bukan sesuatu yang sulit, pada dasarnya kita tidak pernah tahu dan merasakan yang sebenarnya dalam perjalanan mereka menemukan tanah air Indonesia.
Beberapa dari mereka memang memiliki ayah atau ibu orang Indonesia. Ada pula yang berkakek dan nenek orang Indonesia. Semua itu memudahkan proses administrasinya. Namun, perjalanan pencarian tanah air dan peneguhan jati diri yang terjadi dalam hati setiap pemain tersebut pasti tidak sama lajunya. Apalagi, sebagian dari mereka tidak  pernah menginjak Indonesia sebelumnya. Nama Indonesia hanya diwariskan lewat berita, cerita, obrolan, maupun foto lama dari album kenangan orang tua, kakek atau nenek.Â
Tak dimungkiri bahwa banyak pemain keturunan tersebut ditumbuhkan dengan ajaran-ajaran warisan Indonesia. Mereka berasal dari rumah-rumah keluarga Eropa yang meja makannya masih sering menghidangkan nasi goreng, soto, atau lemper.Â
Walau demikian para pemain keturunan itu menemukan tanah air Indonesia melalui cara yang tidak sama. Peneguhan jati diri ke-Indonesiaan mereka lalui dalam bentuk pengalaman bating masing-masing.Â
Berganti paspor bukan urusan sulit karena mereka difasiltasi pejabat dan didukung pemerintah. Namun, menemukan Indonesia dalam sanubari merupakan pergulatan hidup yang hanya bisa dirasai oleh mereka sendiri.