Dulu buku tidak hanya dijual di toko-toko buku. Pedagang asongan di terminal bus dan kios-kios di sekitar stasiun bus juga sering menjajakan buku-buku bacaan. Maka boleh jadi uang itu akhirnya dibelanjakan di terminal atau stasiun. Sebab tidak semua kota pada zaman dulu punya toko buku. Akan tetapi hampir semua kota punya terminal bus.
Romantika mengumpulkan uang dan membeli buku semacam itu rasanya sangat nikmat untuk dibayangkan. Oleh karenanya saya senang jika pada buku bekas dan lawas yang saya beli masih tertera label harga atau nama toko tempat buku tersebut bermula pada puluhan tahun lalu.Â
Tempelan itu tidak saya anggap sebagai kotoran yang perlu dihilangkan. Melainkan sebagai warisan kenangan dari masa lalu. Masa ketika saya belum lahir, tapi buku itu sudah menjadi karya yang dibaca banyak orang. Masa saat buku itu memulai perjalanan panjangnya melintasi waktu sampai akhirnya tiba di tangan saya.
Pada sebuah buku bekas yang lawas saya bukan hanya bisa membaca. Tapi juga menikmati kenangannya. Kini setiap mendapatkan sebuah buku bekas dan lawas, saya antusias menanti warisan kenangan apa yang akan saya temukan di dalamnya.
Mungkin akan tiba waktunya giliran saya untuk mewariskan kenangan lewat buku-buku itu nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H