Hari pertama Idufitri 1444 H dimulai dengan dua kejutan. Pertama, saya terbangun oleh perut yang mulas. Kondisi itu bisa saya tahan sampai sekitar pukul 5 pagi. Namun, menjelang berangkat salat Ied saya putuskan untuk memenuhi "panggilan alam" terlebih dahulu.
Rasa mulas sebenarnya belum hilang saat kami berangkat menuju alun-alun kota untuk salat Ied. Tak ada rencana sebelumnya untuk salat Ied di alun-alun. Selain lokasinya agak jauh, hingga malam takbiran tidak ada tanda-tanda salat Ied di lapangan kampung bakal ditiadakan.Â
Sampai kemudian hujan turun menjelang tengah malam membuat lapangan becek. Hanya sebentar derasnya, tapi agaknya sudah merepotkan panitia salat Ied.
Biasanya meski sempat diguyur hujan, salat Ied masih bisa dilangsungkan di tempat tersebut. Para petugas dan panitia salat Ied akan melakukan berbagai cara untuk menangani kondisi lapangan. Biasanya dengan menimbunkan pasir atau menggeser lokasi mimbar dan tempat salat ke sisi lapangan yang lebih baik kondisinya. Lapangan itu memang lumayan luas. Bagian-bagiannya tidak seragam. Ada yang rata, ada yang bergelombang. Ada yang tanahnya gembur, ada pula yang lebih padat di sisi yang dekat dengan komplek perumahan.
Namun, kondisi tengah malam itu agaknya terlalu mepet untuk dilakukan persiapan ulang. Pemberitahuan pun dikabarkan kepada warga sekitar pukul 03.00. Salat Ied di lapangan kampung tidak bisa diadakan. Warga bisa memilih Salat Ied di tempat lain yang terdekat. Inilah kejutan kedua.
***
Desa tetangga hanya berjarak kurang dari 1 km dari rumah. Di sana ada masjid besar dengan halaman luas yang biasa menggelar salat Ied. Akan tetapi, masjid tersebut telah menggelar salat Ied pada Jumat. Sudah jadi pengetahuan bersama bahwa masyarakat di sana mayoritas merupakan warga Muhammadiyah.Â
Ada pilihan lain, yakni salat Ied di RT atau RW sebelah. Sejak beberapa tahun terakhir, kampung kami memiliki kebiasaan menggelar salat Ied secara "lokal". Masjid kampung yang tak terlalu besar tak mampu lagi menampung jamaah dari beberapa RT dan RW. Maka saat Iduladha dan Idulftri, musola atau bidang tanah yang sedikit luas di sejumlah RT dijadikan tempat untuk menggelar salat Ied.Â
Akan tetapi kami ragu apakah lokasi di RT sebelah akan mencukupi untuk menampung limpahan jamaah. Daripada lama menimbang kemungkinan-kemungkinan, akhirnya diputuskan kami akan menggabung ke alun-alun kota.
Tiba di alun-alun sekitar pukul 5.40, suasana ternyata belum terlalu ramai. Banyak bagian di lapangan alun-alun nampak masih kosong. Hanya saf di belakang yang ditempati jamaah wanita sudah lebih padat.
Lima belas menit kemudian barulah gelombang masyarakat seperti serempak memasuki alun-alun dari semua penjurunya. Petugas semakin sibuk mengatur dan mengarahkan jamaah yang baru datang. Pengeras suara dibunyikan, mengirim imbauan agar jamaah menunda  keperluan mengambil foto beramai-ramai. Mereka yang masih di parkiran diminta segera memasuki lapangan dan menempati saf. Imbaun terus diulang-ulang sambil menekankan bahwa salat Ied akan dimulai pukul 06.30.Â
Namun, saat waktu telah lewat 5 menit, salat Ied masih belum dimulai. Ternyata menunggu bupati yang direncanakan memberi sambutan terlebih dahulu.
Rombongan bupati berjalan dari sisi utara alun-alun. Dikawal oleh sejumlah petugas dan ajudan berseragam menuju mimbar di barat alun-alun.Â
Sambutan pun diberikan menuruti kebiasaan-kebiasaan formal seperti acara pertemuan besar. Satu per satu nama pejabat disapa oleh bupati. Tak ketinggalan pula tokoh masyarakat, Â ormas, organisasi keagamaan, dan sebagainya.
Saya sering merasa tidak sabar setiap menyimak sambutan yang bertele-tele semacam itu. Apalagi setiap menyapa pejabat, bupati sering mengulang kata-kata yang sama: "izinkan saya untuk.." dan "Idulfitri 1444 H".
Semakin banyak diulang kata-kata itu, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk memperpanjang sambutan yang sebenarnya tidak terlalu esensial. Salat hari raya tidak memerlukan sambutan oleh pejabat.
Puncak sambutan yang bertele-tele pagi itu ialah saat bupati mengimbau masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. Sungguh itu bagian paling tidak mencerminkan kondisi yang ada. Selain bupati sendiri tidak menggunakan masker, salat Ied pagi itu juga jelas-jelas tidak menerapkan protokol kesehatan. Sementara acaranya difasilitasi oleh pemerintah kabupaten. Jadi, untuk apa memberi imbauan protokol kesehatan?Â
Lagipula kalau detelisik lagi, kabupaten ini termasuk 5 terbawah dalam penanganan pandemi di provinsi. Sang bupati juga pernah disorot karena saat pandemi justru meresmikan taman kota yang mengundang kerumunan. Ironisnya, seminggu setelah peresmian, taman itu ditutup dengan kain-kain dan papan-papan kayu.
Barangkali selama ini penanganan pandemi memang lebih banyak melalui pidato-pidato imbauan yang tak disertai aksi nyata.Â
Pidato sambutan selesai. Salat dimulai lewat dari waktu yang telah ditentukan. Setelah  itu dilanjutkan khotbah hari raya.Â
Beberapa jamaah beranjak lebih dulu, meninggalkan alun-alun saat khotbah baru dimulai. Sementara jamaah di samping kanan saya asyik membakar rokok. Asapnya yang tertiup angin berulang kali menyambar penciuman. Untung saya mengenakan masker.
Pulang dari salat Ied, perut masih terasa mulas. Usai berganti pakaian, saya kembali menunaikan panggilan alam untuk kedua kalinya pagi itu.
Pencernaan saya agaknya sedang memberi ujian hari raya. Kondisi yang mendorong saya untuk menuju dapur, mengambil jahe, sereh, dan gula jawa. Air rebusan bahan-bahan itu jadi minuman pertama yang saya teguk setelah salat Ied.
Selanjutnya hingga tengah hari, disebabkan oleh perut yang kurang nyaman, tidak ada sebutir nasi pun yang mengisi perut saya. Kue-kue lebaran juga belum saya cicipi. Baru setelah salat dzuhur saya mulai makan dengan sepiring ketupat dan rendang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H