Tiba di alun-alun sekitar pukul 5.40, suasana ternyata belum terlalu ramai. Banyak bagian di lapangan alun-alun nampak masih kosong. Hanya saf di belakang yang ditempati jamaah wanita sudah lebih padat.
Lima belas menit kemudian barulah gelombang masyarakat seperti serempak memasuki alun-alun dari semua penjurunya. Petugas semakin sibuk mengatur dan mengarahkan jamaah yang baru datang. Pengeras suara dibunyikan, mengirim imbauan agar jamaah menunda  keperluan mengambil foto beramai-ramai. Mereka yang masih di parkiran diminta segera memasuki lapangan dan menempati saf. Imbaun terus diulang-ulang sambil menekankan bahwa salat Ied akan dimulai pukul 06.30.Â
Namun, saat waktu telah lewat 5 menit, salat Ied masih belum dimulai. Ternyata menunggu bupati yang direncanakan memberi sambutan terlebih dahulu.
Rombongan bupati berjalan dari sisi utara alun-alun. Dikawal oleh sejumlah petugas dan ajudan berseragam menuju mimbar di barat alun-alun.Â
Sambutan pun diberikan menuruti kebiasaan-kebiasaan formal seperti acara pertemuan besar. Satu per satu nama pejabat disapa oleh bupati. Tak ketinggalan pula tokoh masyarakat, Â ormas, organisasi keagamaan, dan sebagainya.
Saya sering merasa tidak sabar setiap menyimak sambutan yang bertele-tele semacam itu. Apalagi setiap menyapa pejabat, bupati sering mengulang kata-kata yang sama: "izinkan saya untuk.." dan "Idulfitri 1444 H".
Semakin banyak diulang kata-kata itu, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk memperpanjang sambutan yang sebenarnya tidak terlalu esensial. Salat hari raya tidak memerlukan sambutan oleh pejabat.
Puncak sambutan yang bertele-tele pagi itu ialah saat bupati mengimbau masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. Sungguh itu bagian paling tidak mencerminkan kondisi yang ada. Selain bupati sendiri tidak menggunakan masker, salat Ied pagi itu juga jelas-jelas tidak menerapkan protokol kesehatan. Sementara acaranya difasilitasi oleh pemerintah kabupaten. Jadi, untuk apa memberi imbauan protokol kesehatan?Â
Lagipula kalau detelisik lagi, kabupaten ini termasuk 5 terbawah dalam penanganan pandemi di provinsi. Sang bupati juga pernah disorot karena saat pandemi justru meresmikan taman kota yang mengundang kerumunan. Ironisnya, seminggu setelah peresmian, taman itu ditutup dengan kain-kain dan papan-papan kayu.
Barangkali selama ini penanganan pandemi memang lebih banyak melalui pidato-pidato imbauan yang tak disertai aksi nyata.Â