Selain pintu, bingkai kayu yang menjadi lubang ventilasi di atasnya juga masih asli. Bahkan, papan-papan kayu yang melapisi langit-langit atap tak diganti.
Bukan hanya itu, hiasan berupa papan kayu berjeriji yang memanjang seperti renda juga masih dijumpai di bibir teras pendopo rumah. Saat kecil Nh. Dini mengagumi hiasan itu karena menurutnya selaras dengan rimbunnya halaman sehingga bagian depan rumah terlihat semakin megah.
Seolah memahami rasa penasaran saya, Oeti mengarahkan saya untuk melongok ke sisi timur rumah. Menjumpai pekarangan kecil yang ditumbuhi pohon pisang, senyum saya merekah. Ini pasti bagian yang oleh Nh. Dini namai sebagai "wetan ndalem".
Berulang kali dalam buku-bukunya Nh. Dini menyebut "wetan ndalem" sebagai sepetak halaman sempit di timur rumah yang berbatasan dengan bekas markas polisi. Saat kecil Nh. Dini suka merenung dan menyendiri di "wetan ndalem". Sebab di sana ada keheningan yang khusuk akibat naungan pohon pisang serta rumpun pepohonan lain.
Lalu saya berbalik ke sisi barat. Di sana ada sebuah toren air berada di ketinggian yang disangga tiang-tiang berkarat.
Bayangan Nh. Dini seolah hadir pagi itu menerangkan apa yang saya lihat. Dalam "Langit dan Bumi Sahabat Kami", ia mengurai pengalaman masa kecilnya ketika melihat ayah dan beberapa tetangga menggali tanah di halaman depan dan samping rumah.
Saat itu mereka sedang hidup dalam keprihatinan dan kekurangan air bersih akibat perang revolusi kemerdekaan. Ayah Nh. Dini pun berinisiatif membuat sumur-sumur baru di halaman. Kemudian airnya dialirkan dengan pipa agar para tetangga bisa memanfaatkannya.Â
Apakah sumber air di bawah toren itu termasuk bagian halaman yang digali oleh ayah Nh. Dini?
Sungguh mata, hati, dan pikiran ini hidmat mencerna setiap yang nampak dari rumah dan halamannya tersebut. Sayang waktu berlalu dengan cepat membuat saya harus berpamitan undur diri.
Melangkah ke luar, di depan pagar saya kembali menyempatkan memandangi rumah itu. Sejenak waktu kembali seolah berhenti. Nh. Dini memang telah tiada, tapi rumah itu telah memeluk utuh kenangan tentang kehidupannya. Â