Kalau memang ada film religi, apa sebenarnya batasan dan kriterianya? Sebab aneka film religi memperlihatkan kualitas dan standar yang sangat timpang satu sama lain. FIlm-film religi yang berlatar kisah cinta terkesan sempit jalan ceritanya. Melulu berisi naik turunnya hubungan  romantis sepasang manusia yang dibungkus dengan tempat kejadian dan suasana yang agamis. Seringkali pula hanya tentang hijrah dan taaruf.Â
Film-film religi semacam itu membuat agama menjadi lebih sempit maknanya. Terkesan tidak serius mengangkat latar religi. Bahkan, ada film religi yang memuat propaganda dengan meromantisasi aksi-aksi kelompok yang kental dengan intoleransi, diskriminasi, dan persekusi.
Agaknya kita memang perlu lebih banyak film religi yang lebih religius dan serius. Film religi yang tak berangkat dari kisah cinta atau tentang kesempurnaan laki-laki dan perempuan.
Perlu lebih banyak film religi yang memuat nilai-nilai spiritualitas, kebudayaan, kemanusiaan, keberagaman dan sejarah. Sebab di Indonesia agama berinteraksi kuat dengan semua itu.
Seperti film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo. Nuansa agamanya yang kental bisa menjadi alasan untuk menyebut Sang Pencerah sebagai film religi. Namun, film ini juga layak diapresiasi sebagai film sejarah.Â
Sebagai film religi, Sang Pencerah dengan apik menampilkan potret kehidupan masyarakat Indonesia yang relijgius di satu sisi dan di sisi lain tidak mengingkari praktik-praktik budaya serta tradisi yang juga diamalkan oleh pemeluk agama.
Praktik beragama yang bercampur dengan ritual tradisi membuat Ahmad Dahlan gelisah. Sedari remaja telah muncul kesadaran dalam dirinya bahwa kondisi demikian perlu dibenahi.
Sebagai umat Islam yang taat, Ahmad Dahlan sebenarnya tidak anti tradisi dan budaya. Namun, ia merasa perlu meletakkan agama dan tradisi pada tempatnya masing-masing. Baginya ritual yang menyertakan banyak sesaji berupa makanan dan hasil bumi tidak diperlukan.Â
Andai ingin diadakan sebaiknya disederhanakan. Sebab makanan dan hasil bumi tersebut lebih berguna jika dibagikan kepada rakyat miskin dibanding dipersembahkan kepada makam dan pohon-pohon keramat.
Ahmad Dahlan juga terganggu dengan feodalisme yang mengungkung hubungan ulama dengan umat. Dalam satu adegan digambarkan bagaimana jamaah masjid bersimpuh dan membungkuk layaknya menyembah saat sang imam memasuki masjid. Sementara Ahmad Dahlan hanya duduk dan bersikap sopan sewajarnya.