"Ferdy Sambo itu hanya oknum"
Tumben pembelaan semacam itu hampir tak terdengar. Selama 2 bulan perjalanan pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J, rasanya belum ada narasi yang menyebut "Sambo hanya oknum".
Padahal, biasanya jika ada kasus polisi nakal yang terungkap dan viral di media, labelisasi "oknum" mudah disematkan. Tujuannya tentu untuk menjaga nama baik institusi sekaligus untuk "meringankan" kadar tanggung jawab yang bersangkutan. Seolah dengan label oknum, perilaku nakalnya tak perlu dibesar-besarkan oleh masyarakat.
"Jangan hanya karena nila setitik, lalu jadi rusak susu sebelanga". Begitu argumentasi pembelaannya.
Sebab polisi yang baik jumlahnya lebih banyak. Sementara polisi nakal hanya segelintir saja. Kelakuan polisi-polisi nakal jangan disangkutpautkan dengan kebaikan-kebaikan polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Sedikit noda yang dipercikkan oleh "oknum" bukan cerminan dari putihnya susu di belanga.
Kalau demikian adanya bukankah Ferdy Sambo juga berhak untuk diberi label "oknum"?
Memang, seorang Ferdy Sambo hanyalah satu nama di antara sekitar 430 ribu anggota polri se-Indonesia. Menurut bilangan ia hanya 1/430.000 yang mungkin dalam hasil operasi matematika bisa dikesampingkan karena terlalu kecil nilainya.
Satu orang oknum di tengah 430.000 populasi apalah artinya? Ia hanya sedikit noda nila yang tak ada artinya di tengah susu yang sebelanga banyaknya.
Namun, mengapa kali ini tak ada yang menyebut Sambo sebagai oknum? Bahkan 83 polisi lainnya yang ikut terlibat dalam skenario Sambo juga tidak disebut "oknum". Padahal 83/430.000 masih terbilang sangat kecil. Bisa dikatakan sebagai setitik noda alias "oknum" saja.
Kemungkinan  karena para pejabat polisi merasa tak percaya diri lagi untuk mengatakan "Sambo hanya oknum". Akan memalukan memberikan label "oknum" kepada Ferdy Sambo sementara terkuak ke hadapan publik tentang jaringan "Pengabdi Sambo" yang tersebar di berbagai kantor polisi. Mulai dari Polres, Polda hingga markas Bareskrim ternyata terseret dalam skenario Sambo.
Ferdy Sambo memang hanya nama satu orang. Namun, jika diurai dari keterlibatan 83 polisi yang sedang diperiksa dan sejumlah perwira yang diduga membantu kejahatannya, jelas bahwa "kenakalan" Ferdy Sambo bukanlah kenakalan oknum. Melainkan cerminan dari kerusakan sistem.
Bisa dibayangkan sistem berlapis yang sempat diupayakan untuk mendukung skenario kejahatan Sambo digulirkan mulai dari level Polres, Polda, hingga Bareskrim. Ferdy Sambo memanfaatkan sistem jaringan pengikutnya di banyak level tersebut.
Sampai kemudian menyeruak isu tentang "mabes di dalam mabes", "kekaisaran Sambo", "bintang 2 rasa bintang 5" dan sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa kejahatan Ferdy Sambo sulit untuk "dibela" dengan sebutan perbuatan oknum. Sebab dalam merencanakan dan melakukan kejahatannya, Ferdy Sambo memanfaatkan sistem yang dibangunnya dengan melibatkan banyak polisi dari berbagai level.
Oleh karena itu, Ferdy Sambo bukanlah noda yang setitik. Melainkan sebelanga noda. Dari  Sambo terpampang jelas adanya pelanggaran hukum secara hebat. Tidak hanya satu kejahatan, tapi berbagai tindak kejahatan sekaligus. Tercermin pula masalah di dalam sistem yang lebih besar.
Begitu kuatnya noda yang Sambo hasilkan, sehingga bercaknya pun seolah mencemari  dan menutupi putihnya susu dari wadah-wadah lain yang lebih kecil. Periksalah media sosial saat ini. Banyak unggahan yang memperlihatkan sindiran dan cemoohan warga pada polisi di sekitarnya yang sedang bertugas.
Ada sekelompok polisi yang sedang berlari pagi, lalu disoraki "Sambo, Sambo!" oleh pengguna jalan. Ada polisi yang sedang mengikuti karnaval, lalu masyarakat di pinggir jalan meneriakkan nama "Sambo" dengan nada mengejek.
Ada pula live streaming yang menghadirkan polisi, tapi kolom komentar dan chat dibanjiri dengan ketikan "sambo".
Mungkin gara-gara Ferdy Sambo, individu-individu polisi sekarang mulai minder saat keluar rumah dan melewati tetangga. Was-was seandainya tiba-tiba ada tetangga yang menyapa dengan candaan: "Pagi, Pak Sambo", atau "Mau berangkat ya? Salam buat Pak Sambo, ya..".
Bisa jadi masyarakat pun akan mulai mengubah sebutan "kantor polisi" dengan "kantor Sambo" atau "ditilang polisi" menjadi "ditilang Sambo". Sebab masyarakat tidak percaya lagi pada polisi.
Apapun tentang polisi akan dikaitkan dengan Sambo. Kebaikan yang besar akan dibanding-bandingkan dengan kejahatan besar yang diperbuat Ferdy Sambo.
Sedangkan kebaikan yang kecil akan diremehkan karena dianggap tidak sebanding dengan kejahatan Ferdy Sambo.
Begitulah akibat Sambo yang sebelanga, akhirnya ikut rusak polisi lain yang setitik. Semoga tidak ada hal lain yang lebih memprihatinkan lagi. Jangan sampai masyarakat tidak menghargai lagi kebaikan polisi. Kita masih dan tetap membutuhkan polisi.
Dan semoga masih akan tetap banyak anak-anak yang ketika ditanya oleh gurunya tentang cita-cita, mereka akan menjawab:Â "mau jadi polisi!".
Tentu saja maksudnya bukan "mau jadi Sambo!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H