Pembunuhan Brigadir J oleh persekongkolan jahat Ferdy Sambo akankah membuat banyak polisi dan prajurit enggan ditugaskan sebagai ajudan pejabat?
Beberapa tahun silam, dalam sebuah acara reuni SMA, sejumlah teman membincangkan salah satu alumni yang saat itu menjadi ajudan bupati. Puja-puji ditujukan kepadanya. Rasa salut dan bangga tercermin dari antusiasme teman-teman saat membahas tentangnya. Konon di sekolah, beberapa guru pun sering membanggakan kisah alumni yang menjadi ajudan bupati tersebut untuk memotivasi para adik tingkat kami.
Menjadi ajudan atau pengawal pejabat memang mendatangkan pesona tersendiri. Terutama di mata masyarakat umum yang biasanya mudah kagum pada atribut profesi, seperti seragam dan sebutan pekerjaan yang dianggap "wah".
Tak hanya memesona di mata masyarakat, menjadi ajudan juga membanggakan bagi yang bersangkutan. Sebab pada dasarnya ajudan merupakan orang-orang pilihan. Mereka dipilih oleh institusi yang menaunginya maupun dipilih sendiri oleh pejabat yang ingin dikawalnya.
Seringkali ajudan pun ikut diperlakukan sebagai "orang penting" selama mendampingi pejabat atau atasannya. Dengan kata lain, ada gengsi dan privilese yang didapat seorang ajudan.
Namun, ada satu hal yang lebih berharga dari itu semua. Yakni, menjadi ajudan merupakan berkah yang membentangkan jalan lapang untuk kemajuan karir di masa depan.
Seseorang yang mendapatkan tugas penting sebagai ajudan, berpeluang besar pula mendapatkan "shortcut" yang bisa membuatnya meloncati beberapa anak tangga sekaligus untuk sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Lesatan karir sejumlah mantan ajudan presiden Indonesia menjadi contoh paling jelas untuk menggambarkannya. Beberapa orang yang pernah menjadi ajudan presiden di kemudian hari menduduki jabatan tertinggi.
Salah satu yang paling istimewa ialah Tri Sutrisno. Setelah menjadi ajudan Presiden Soeharto, ia akhirnya menjadi wakil presiden pendamping Soeharto.
Nama lain ialah Budi Gunawan yang saat ini menjabat Kepala BIN. Budi pernah menjadi ajudan Presiden Megawati dari tahun 2001-2004. Pada tahun terakhirnya mengawal Megawati, Budi Gunawan meraih pangkat bintang 1. Karirnya pun terus merangkak naik.
Bahkan, meski tak lagi menjadi ajudan, Budi Gunawan tetap menjadi orang kepercayaan Megawati. Tak mengejutkan jika ia pernah diusulkan oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri. Namun, pengusulan itu akhirnya dibatalkan karena muncul polemik dan konflik panas dengan KPK.
Beberapa mantan ajudan dan pengawal Presiden Jokowi pun memiliki karir cemerlang. Ada yang menjadi wakil komandan Kopassus, ada pula yang naik pangkat menjadi bintang 3.
Panglima TNI Andika Perkasa bisa diambil sebagai salah satu contoh. Ia memang tidak pernah menjadi ajudan resmi Presiden Jokowi. Namun, saat menjabat sebagai komandan Paspampres, Andika bertindak layaknya ajudan. Dalam banyak kesempatan, ia terjun langsung mengawal Jokowi.
Dua tahun mengamankan presiden, karir Andika Perkasa terus melaju. Sempat menjadi panglima di Tanjungpura dan Kostrad, Andika kemudian memimpin Angkatan Darat. Tak lama kemudian ia diangkat sebagai Panglima TNI.
Tak kalah cemerlang dengan Andika Perkasa ialah Listyo Sigit Prabowo. Perlu dicatat bahwa 11 tahun lalu Listyo "hanya" seorang Kapolres biasa.
Namun, haluan karirnya segera berubah saat menjadi ajudan Presiden Jokowi pada 2014-2016. Setelah "lulus" sebagai ajudan presiden, Listyo pun dipromosikan sebagai Kapolda Banten. Karirnya meningkat lagi sebagai Kadivpropam dan Kabareskrim.
Kini kita tahu bersama Listyo sudah punya 4 bintang di pundaknya. Ia menjadi orang nomor 1 di Kepolisian Republik Indonesia.
Melihat contoh di atas, bisa dipahami jika karir sebagai ajudan banyak diidamkan sekaligus diincar. Tak harus menjadi ajudan presiden. Sebab hanya sedikit orang yang punya keberuntungan luar biasa terpilih mengawal presiden.
Banyak jabatan lain juga membutuhkan ajudan. Mulai dari level pejabat daerah sampai pejabat pusat. Menjadi ajudan bupati dan gubernur pun sudah lumayan bergengsi. Akan  lebih beruntung lagi jika menjadi ajudan menteri dan jenderal.
Apa pun itu, sekali menjadi ajudan maka harapan untuk memajukan karir lebih tinggi ada di depan mata. Apalagi jika ajudan itu selalu "patuh" menuruti perintah. Niscaya ia akan semakin "dipercaya" untuk terus menyertai sang pejabat. Termasuk jika pejabat itu naik jabatan, besar kemungkinan sang ajudan pun ikut "dibawa" naik tingkat.
Begitu pula pejabat sering berusaha membuat ajudannya tetap "setia" sekaligus merasa "hutang budi". Salah satunya dengan memfasilitasi dan memudahkan perjalanan karirnya.
Siapa yang tak ingin karirnya moncer? Siapa pula yang tak mau disegani karena menjadi orang dekat pejabat?
Namun, sekarang agaknya situasi dan pandangan sedikit berubah. Mulai muncul kekhawatiran yang menghantui benak para ajudan di Indonesia.
Nasib malang yang menimpa Brigadir J bisa jadi membuat sejumlah ajudan para pejabat  merasa insecure. Mereka mulai memikirkan nasib dan keselamatannya. Merasa baik-baik saja bukan berarti tidak ada sesuatu yang sedang mengancam mereka dari belakang. Jika sebelumnya menjadi ajudan pejabat dipandang penuh gengsi, kini justru dipandang penuh risiko.Â
Jika selama ini menjadi ajudan disyukuri karena menjamin kemajuan karir dan kenaikan pangkat, maka pembunuhan Brigadir J yang diotaki oleh atasannya sendiri menunjukkan bahwa profesi ajudan sangat rentan dengan ancaman dari orang terdekat. Persekongkolan jahat yang merenggut nyawa Brigadir J memperlihatkan bahwa profesi ajudan sangat rawan dan dikelilingi ancaman.
Entah seperti apa kecamuk yang sedang dialami oleh banyak ajudan di negeri ini sekarang. Membayangkan nasib Brigadir J agaknya membuat para ajudan lain menjadi bimbang. Di satu sisi, profesi mereka sangat strategis sebagai pendongkrak karir. Namun, di sisi lain "kedekatannya" yang intens dengan pejabat membuat ajudan dipenuhi dilema.
Misalnya, mengetahui banyak rahasia pribadi pejabat atau atasan dengan sendirinya menjadikan ajudan sebagai penyimpan rahasia. Mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit. Yakni, menjadi orang baik atau ajudan yang baik.
Menjadi orang yang baik berarti mengikuti hati nurani. Sedangkan menjadi ajudan yang baik berarti harus mengikuti perintah pejabat yang jadi atasannya.
Kekejaman Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya sendiri agaknya mulai membuat banyak ajudan di seluruh Indonesia saling menaruh curiga satu sama lain. Kawan yang akrab di siang hari, bisa jadi berubah pada malam hari. Kolega yang baik di kantor, bisa jadi mengancam di luar kantor. Atasan yang baik, bisa jadi menyimpan skenario jahat.
Apakah saat ini diam-diam banyak ajudan pejabat di Indonesia sedang memikirkan cara terbaik untuk resign? Kemungkinan itu ada.
Begitu pun bagi para calon ajudan. Mereka yang mendapat tawaran atau perintah tugas sebagai ajudan pejabat akan mulai berpikir lebih panjang. Keraguan dan kecemasan membayangi.
Jika dulu mereka akan segera menyambutnya dengan antusias karena menjadi ajudan dianggap akan memuluskan karir, kini gara-gara Ferdy Sambo banyak hal berubah. Menjadi ajudan tak lagi menggiurkan. Kalau boleh menolak, mereka tak mau ditugaskan mendampingi pejabat.
Sebab menjadi ajudan pejabat berarti siap dengan segala risiko dan ancaman, termasuk menjadi korban atau dikorbankan.
Mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H