"Indonesia harus berani berinvestasi di bidang infrastruktur dan akademi pemain muda. Jadi, jika ingin sepak bolanya sukses, Indonesia harus menghabiskan uang lebih banyak pada dua hal tersebut. Sehingga nanti bisa mendukung sepak bola Indonesia ke depannya". (Mesut Ozil)
Bintang sepakbola dunia Mezut Ozil sedang berkunjung ke Indonesia. Banyak agenda dan acara dijalaninya.
Beberapa yang telah berlangsung ialah memperkenalkan sebuah brand perlengkapan olahraga buatan Indonesia, bertemu dengan Menparekraf, jumpa penggemar, berkunjung ke stadion GBK, memberikan coaching clinic, dan bertamu ke kedutaan besar Turki di Jakarta. Selanjutnya Ozil berencana berlibur ke Bali bersama keluarganya.
Menariknya di sela-sela aktivitasnya di Indonesia, Ozil sempat mempromosikan makanan-makanan khas Nusantara. Lewat instagram story di akun @m10_official, ia membagikan momen saat menikmati rendang, ayam goreng, gado-gado, tahu dan tempe.
Ozil juga memiliki perhatian tersendiri terhadap sepakbola Indonesia. Bahkan, ia menyebut Bali United sebagai klub yang ingin dibelanya jika ada kesempatan melanjutkan karir di Indonesia. Entah serius atau sekedar basa-basi. Sebab Ozil mengaku masih bahagia merumput di Turki.
Dalam wawancara dengan sebuah media Ozil terkesan dengan gairah dan perkembangan sepakbola Indonesia. Ia memuji antusiasme suporter Indonesia. Ia tahu ada banyak sekali penggemar Premier League di negara ini.
Walau demikian ia menyoroti kekurangan sepakbola Indonesia dalam hal keterbatasan insfrastruktur dan akademi usia muda. Sebentuk saran pun ia berikan kepada pemerintah Indonesia dan PSSI.
Menurutnya, agar sepakbolanya lebih maju Indonesia harus mau mengeluarkan dana lebih banyak untuk berinvestasi menyediakan infrastuktur dan akademi yang berkualitas.
Tentu itu saran yang bagus dan masuk akal. Sebab begitulah rumus umum pembinaan sepakbola maupun olahraga pada umumnya. Jika prestasi merupakan puncak yang ingin dicapai, maka tidak ada jalan lain kecuali mendakinya dari bawah. Sebuah puncak yang kokoh membutuhkan pondasi yang kuat dan terjaga. Baik mendaki, membangun pondasi, serta meraih prestasi, semuanya merupakan rangkaian proses yang mesti dijalani.
Dengan kata lain, Ozil ingin mengatakan bahwa Indonesia perlu memulai prosesnya dari awal. Infrastuktur dan akademi merupakan prasyarat dasar yang perlu dimiliki sebelum bicara lebih jauh tentang prestasi.
Sayangnya Ozil belum tahu bahwa sepakbola Indonesia tidak menganut teori dan hukum pembinaan olahraga manapun.
Statuta FIFA saja bisa dilawan dan diterjemahkan sesuka hati. Apalagi sekedar saran dari orang asing. Kemungkinan besar tidak akan didengar. Andai didengar, belum tentu akan dipikirkan dan ditindaklanjuti.
Ozil perlu tahu bahwa para pejabat dan pengurus sepakbola Indonesia merupakan penganut ideologi "anti-proses". Kata-kata "investasi di bidang olahraga" tidak disukai di negeri ini. Sebab investasi sama artinya dengan proses. Sementara proses butuh kesabaran. Itu sesuatu yang merugikan bagi kepentingan jangka pendek.
Dalam sudut pandang para pejabat pemerintah dan pengurus sepakbola, sedapat mungkin proses harus diperpendek. Investasi tidak perlu mahal. Kalau bisa prestasi ditempuh semi-instan. Artinya tetap ada prosesnya, tapi sekadarnya saja. Terpenting ialah bisa jadi juara secepat mungkin.
Itulah yang terjadi di sepakbola Indonesia selama ini. Baik pengurus klub maupun federasi sama-sama menganut ideologi "anti-proses". Dulu bahkan ada yang bilang "kalau wartawannya bagus, timnasnya akan bagus". Itulah salah satu contoh pandangan dalam ideologi "anti-proses".
Pengurus sepakbola di Indonesia lebih senang buang-buang uang untuk membayar para pemain overrated dibanding berinvestasi menyediakan fasilitas latihan dan akademi. Seolah liga sepakbola Indonesia sudah sangat profesional dan maju, hampir semua klub menargetkan kemenangan dan juara dengan sempurna. Jika ada masalah, klub terobsesi dengan mengganti pelatih sesering mungkin dibanding mengevaluasi dan memperbaiki akar masalahnya.
Tabiat tersebut juga ditiru oleh federasi. Atau malah sebenarnya federasi yang menularkan tabiat buruk itu pada klub-klub.
Oleh karenanya saran atau nasihat dari Ozil di atas bukanlah sesuatu yang ingin didengar oleh PSSI dan klub. Mereka tidak butuh nasihat itu. Pemerintah pun agaknya tidak akan mencatatnya sebagai masukan.
Lagipula saran seperti yang diucapkan Ozil sudah berulang kali disuarakan oleh banyak pihak. Termasuk oleh Shin Tae-yong di sela-sela Sea Games Vietnam lalu.
Pelatih timnas tersebut bahkan meminta para suporter dan netizen Indonesia untuk menuntut PSSI agar menyediakan fasilitas pelatihan yang memadai.
Dengan meminta bantuan suporter dan netizen, STY secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa butuh teriakan yang lebih kencang agar masukan dan sarannya bisa didengar oleh federasi. Saat seorang pelatih timnas meminta bantuan suporter dan netizen, itu berarti suaranya tidak terlalu digubris oleh federasi.
Terbaru STY bahkan kecewa karena Timnas harus pindah tempat latihan gara-gara PSSI lupa membooking lapangan yang sedianya akan digunakan sebagai tempat berlatih sepulangnya dari Vietnam.
Jika permintaan pelatih saja sulit dipenuhi, apalagi saran dari orang asing seperti Ozil. Hampir dipastikan tidak akan memiliki efek berarti.
Bagi para pejabat dan pengurus sepakbola di negeri ini, untuk bisa berprestasi dan juara hanya perlu keberuntungan. Dalam benak mereka mungkin berkata, "Dengan fasilitas dan pembinaan yang ala kadarnya saja sudah bisa menjadi runner up dan meraih medali. Berarti faktor penentunya tinggal menunggu keberuntungan".
Lagipula sudah terbukti di Sea Games Vietnam yang lalu. Saat Timnas Basket mencetak sejarah dengan mengalahkan Filipina dan merebut medali emas, muncul berita menggelikan bahwa capaian itu tak lepas dari motivasi yang diberikan oleh menteri olahraga.
Artinya yang dibutuhkan oleh negara ini ialah motivator-motivator narsis. Sehebat apapun pemain dan pelatihnya, motivasi pejabat menjadi penentunya. Tak masalah berlatih di lapangan yang buruk. Bukan halangan jika tak mempunyai fasilitas kebugaran dan training center. Asalkan pejabatnya pandai menjadi motivator, maka prestasi olahraga Indonesia akan maju.
Itu pula yang dilakukan oleh ketua federasi sepakbola kita yang rajin memberikan motivasi bagi para pemain. Ia hobi menelepon dan melakukan video call dengan para pemain. Bahkan, rela ia masuk ke ruang ganti pemain. Katanya untuk memberikan suntikan motivasi.
Begitu rajinnya ia memberikan motivasi hingga segala aktivitasnya terus diupdate melalui media sosial. Bahkan, akun instagramnya pribadinya kadang lebih update dibanding akun instagram federasi. Berita dan foto tentang Timnas pun sebisa mungkin ada dirinya di dalam frame.
Jadi, eksistensi pribadi lebih didahulukan dibandingkan kepentingan olahraga itu sendiri. Membangun fasilitas latihan, mendirikan akademi usia muda, dan mengembangkan liga yang profesional, tidaklah penting.
Selain membutuhkan banyak uang dan pikiran, hasilnya pun perlu menunggu waktu lebih lama sehingga kurang menjanjikan untuk mengangkat eksistensi dan citra pribadi.
Oleh karena itu, saran dari Mesut Ozil tidak dibutuhkan dan kurang "relate" dengan pikiran banyak pejabat dan pengurus sepakbola Indonesia. Sebab negeri ini lebih butuh pejabat motivator dan sedikit keberuntungan untuk bisa jadi juara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H