Dengan meminta bantuan suporter dan netizen, STY secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa butuh teriakan yang lebih kencang agar masukan dan sarannya bisa didengar oleh federasi. Saat seorang pelatih timnas meminta bantuan suporter dan netizen, itu berarti suaranya tidak terlalu digubris oleh federasi.
Terbaru STY bahkan kecewa karena Timnas harus pindah tempat latihan gara-gara PSSI lupa membooking lapangan yang sedianya akan digunakan sebagai tempat berlatih sepulangnya dari Vietnam.
Jika permintaan pelatih saja sulit dipenuhi, apalagi saran dari orang asing seperti Ozil. Hampir dipastikan tidak akan memiliki efek berarti.
Bagi para pejabat dan pengurus sepakbola di negeri ini, untuk bisa berprestasi dan juara hanya perlu keberuntungan. Dalam benak mereka mungkin berkata, "Dengan fasilitas dan pembinaan yang ala kadarnya saja sudah bisa menjadi runner up dan meraih medali. Berarti faktor penentunya tinggal menunggu keberuntungan".
Lagipula sudah terbukti di Sea Games Vietnam yang lalu. Saat Timnas Basket mencetak sejarah dengan mengalahkan Filipina dan merebut medali emas, muncul berita menggelikan bahwa capaian itu tak lepas dari motivasi yang diberikan oleh menteri olahraga.
Artinya yang dibutuhkan oleh negara ini ialah motivator-motivator narsis. Sehebat apapun pemain dan pelatihnya, motivasi pejabat menjadi penentunya. Tak masalah berlatih di lapangan yang buruk. Bukan halangan jika tak mempunyai fasilitas kebugaran dan training center. Asalkan pejabatnya pandai menjadi motivator, maka prestasi olahraga Indonesia akan maju.
Itu pula yang dilakukan oleh ketua federasi sepakbola kita yang rajin memberikan motivasi bagi para pemain. Ia hobi menelepon dan melakukan video call dengan para pemain. Bahkan, rela ia masuk ke ruang ganti pemain. Katanya untuk memberikan suntikan motivasi.
Begitu rajinnya ia memberikan motivasi hingga segala aktivitasnya terus diupdate melalui media sosial. Bahkan, akun instagramnya pribadinya kadang lebih update dibanding akun instagram federasi. Berita dan foto tentang Timnas pun sebisa mungkin ada dirinya di dalam frame.
Jadi, eksistensi pribadi lebih didahulukan dibandingkan kepentingan olahraga itu sendiri. Membangun fasilitas latihan, mendirikan akademi usia muda, dan mengembangkan liga yang profesional, tidaklah penting.
Selain membutuhkan banyak uang dan pikiran, hasilnya pun perlu menunggu waktu lebih lama sehingga kurang menjanjikan untuk mengangkat eksistensi dan citra pribadi.
Oleh karena itu, saran dari Mesut Ozil tidak dibutuhkan dan kurang "relate" dengan pikiran banyak pejabat dan pengurus sepakbola Indonesia. Sebab negeri ini lebih butuh pejabat motivator dan sedikit keberuntungan untuk bisa jadi juara.