Saya pun tak pernah menanyakannya lagi. Sebab seiring waktu menjadi jelas bagi saya bahwa  tidak terlalu penting untuk mengetahui alasan seseorang memeluk agama tertentu.Â
Kurang penting untuk mencari tahu bagaimana perasaan kakek dan nenek, serta ibu dan para saudaranya yang lain ketika Bu De berpindah agama.
Melihat bagaimana kedekatan ibu dan Bude, serta kerukunan yang diperlihatkan kakek dan nenek dengan Bu De, sudah lebih dari cukup untuk saya memahami bahwa keluarga kami telah "selesai" dengan urusan tersebut.
Buktinya saat Idulfitri kami sering berkumpul bersama menumpahkan rasa bahagia. Beberapa kali Bu De mudik dan merayakan lebaran di rumah kakek dan nenek.Â
Di tempat ia dilahirkan dan dibesarkan bersama saudara-saudaranya. Kakek dan nenek juga memperlakukan Bu De dan keluarganya sama seperti yang lain.
Itu sangat berkesan bagi saya. Sebab di rumahnya, kakek dan nenek membangun mushola kecil sebagai salah satu cara menanamkan pengajaran agama kepada anak dan cucu.Â
Tapi di rumah itu pula kakek dan nenek menerima perbedaan agama yang dianut salah satu anaknya. Kakek dan nenek tetap memberikan kasih sayang yang sama, termasuk kepada anak dan cucunya yang berbeda keyakinan.
Toleransi di rumah kakek dan nenek nyata adanya. Bahkan, terasa sangat kuat sehingga saya sempat tak menyadari bahwa Bu De menganut agama yang berbeda dari kami semua.
Jalinan kerukunan tersebut terus terjaga hingga sekarang meski kakek dan nenek telah tiada. Bahkan, setelah kakek dan nenek tidak ada, otomatis Bu De menjadi orang yang dituakan di keluarga besar kami.
Seperti beberapa waktu lalu saat ada anggota keluarga yang menikah di Bantul. Bu De datang menghadiri resepsi dan menginap satu kamar bersama Ibu.Â