Mengingatkan orang lain untuk menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan tidaklah mudah. Harus siap menerima tanggapan yang kurang mengenakkan. Dimaki, Â dianggap "sok patuh" hingga dituduh berjualan masker. Kadang terasa "makan hati", tapi lebih sering merasa sedih.
Cuitan Sofie Syarief, jurnalis dan presenter Kompas TV pada Senin (24/1/2022) penting untuk direnungkan. Lewat twitter Sofie mengungkap pengalamannya saat menganjurkan rekan kerjanya untuk memilih dan menggunakan masker yang benar, khususnya jenis N95.
Sayangnya, maksud baik Sofie direspon secara kurang mengenakkan. Hal yang menyedihkan ialah Sofie dianggap sedang berjualan masker. Padahal ia hanya ingin melihat orang lain sehat dan terlindungi dari ancaman Covid-19 dan varian Omicron.
Keresahan dan kesedihan Sofie bisa saya rasakan. Pada 21/1/2022 saya pun menayangkan artikel di Kompasiana (Para Manusia Aneh) yang menyinggung pengalaman saya ketika dimaki oleh orang yang tidak patuh pada protokol kesehatan. Mengingatkan orang lain untuk menggunakan masker dan membersihkan tangan dengan benar justru berbuah cacian.
Terlepas dari jenis masker yang sebaiknya digunakan saat ini, apakah harus N95, KN95, KF94, atau masker bedah biasa, peristiwa yang dialami Sofie seperti halnya yang saya alami pula, pasti juga dialami oleh banyak orang. Kepedulian kepada orang-orang di sekitar yang diwujudkan dengan memberi imbaun untuk mematuhi protokol kesehatan memang tidak selalu ditanggapi dengan baik.
Sejak awal pandemi Covid-19 saya dan beberapa teman sering membagikan masker dan hand sanitizer. Berusaha pula untuk mengingatkan orang-orang terdekat agar tidak lupa mencuci tangan, menggunakan masker dengan benar, dan waspada ketika beraktivitas dalam keramaian.
Walau demikian, belakangan saya justru sering menemukan sikap dan respon yang tidak mengenakkan dari orang-orang di sekitar. Oleh karena itu, perasaan sedih yang dirasakan Sofie karena dituduh sedang berjualan masker bisa saya pahami. Sebab saya pun merasakan kesedihan yang serupa ketika dianggap "sok bener" dan "sok patuh" oleh orang-orang sekitar.
Bahkan, perasaan sedih itu terasa lebih mendalam. Bukan karena ujarannya yang tidak mengenakkan hati. Namun, karena orang-orang yang menuduh atau memaki itu justru orang-orang dekat yang sehari-hari beraktivitas bersama. Menyedihkan pula bahwa mereka sebenarnya termasuk orang-orang terpelajar yang mestinya mudah memahami pentingnya protokol kesehatan pada saat ini.
Rekan kerja Sofie yang jika mereka sesama jurnalis atau pekerja media mestinya paham bahwa ancaman Covid-19 yang telah memakan banyak korban bukanlah rekayasa atau konspirasi. Sehingga anggapan sedang berjualan masker mestinya tidak akan keluar dari mereka yang setiap hari bergulat dengan fakta dan informasi.
Keresahan Sofie mirip dengan kesedihan yang saya rasakan karena menjumpai di depan mata sendiri orang yang belajar dan mengajar Biologi justru suka meremehkan protokol kesehatan. Pemaknaannya tentang Covid-19 dan vaksin juga cenderung kurang berpijak pada dasar ilmiah yang benar.
Sering dan berulang kali saya bertanya dalam hati: "apakah menggunakan masker akan membuat telinga mereka lecet dan putus?", "adakah beban berat yang mereka tanggung ketika mencantolkan masker ke telinga?", "apakah mencuci tangan akan membuat kulit tangan mereka mengelupas dan melepuh?".
Padahal sebelum pandemi Covid-19 manfaat masker dan mencuci tangan sudah menjadi pengetahuan umum.
Akhirnya saya memilih berkesimpulan bahwa mereka meremehkan Covid-19 dan protokol kesehatan bukan karena tidak tahu atau kurang memahami. Perilaku demikian kemungkinan besar karena mereka dikuasai egoisme atau kurang bersyukur.
Sebenarnya tersedia pilihan untuk menghadapi orang-orang seperti demikian. Pertama, menjauh dan menjaga jarak baik secara fisik maupun mental. Kedua, tetap berusaha mengingatkan dan menyadarkan.
Sayangnya kedua pilihan itu seringkali tidak ada yang mengenakkan. Hampir mustahil menjauhi orang-orang yang setiap hari harus berinteraksi sebab mereka mungkin rekan kerja, kolega, atasan, bawahan atau saudara. Di sisi lain memilih untuk tetap mengingatkan orang lain agar mematuhi protokol kesehatan bisa membuat "darah tinggi" dan "makan hati". Â Alih-alih diterima dengan baik, memberi imbauan untuk menggunakan masker malah dituduh berjualan masker, dimaki, dan dicibir sebagai "SJW Covid".
Walau demikian hingga detik ini saya tetap berpandangan bahwa penting dan perlu untuk mengingatkan mereka yang abai pada protokol kesehatan. Â Sebab patuh atau tidaknya mereka terhadap protokol kesehatan mempengaruhi kesehatan dan keselamatan orang lain. Setiap orang kini benar-benar menjadi penting bagi sesamanya. Keteledoran satu orang bisa mengancam jiwa orang-orang di sekelilingnya.
Itu sebabnya di dalam tas saya selalu ada beberapa lembar masker yang bisa diberikan kepada siapapun di dekat saya yang kebetulan belum menggunakan masker. Menyodorkan masker tanpa banyak menceramahi adalah cara yang biasa saya lakukan untuk "menegur" mereka.
Namun, jika dengan cara sopan dan halus itu mereka justru menuduh atau memaki, maka benar adanya jika mereka mungkin termasuk golongan orang egois yang kurang pandai bersyukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H