Mafia sangat terobsesi pada hasil. Mereka tidak menyukai iklim dan paradigma sepakbola yang maju serta profesional. Di sisi lain sepak terjang mereka sangat "profesional".
Pada era industri olahraga modern sekarang ada dua cabang olahraga yang paling diincar oleh mafia untuk dijadikan "playground" mereka. Pertama ialah tenis. Kedua tentu saja sepakbola.
Pada sepakbola, olahraga ini seringkali lebih dari sekadar pertandingan dua kesebelasan dengan 22 pemain yang saling berlarian. Dalam riuh sebuah pertandingan sepakbola tak mengejutkan jika ada judi, suap, pencucian uang, dan pengaturan skor di dalamnya. Bahkan, intrik politik juga bisa leluasa menggelinding di lapangan bola.
Oleh karena itu, jika tim kesayangan kita menang atau meraih piala kejuaraan, sebaiknya jangan terlalu jumawa. Jangan gampang besar kepala menyombongkan kehebatan taktik dan kekuatan permainan sebagai penentu kemenangan. Bisa jadi kemenangan yang barusan dirayakan hanya bentuk lain dari perayaan kemenangan para mafia.
Entah siapa dan di mana para mafia itu berada. Mereka bisa ada di tempat yang jauh dan hanya menonton lewat TV. Namun, mereka juga bisa sangat dekat dan tanpa menjaga jarak. Mereka bisa ada di bangku penonton dan pinggir lapangan. Ruang ganti pemain pun mungkin bisa mereka masuki.
Para mafia bola memiliki selera dan pola sepak terjang yang khas. Mereka lebih banyak beraksi di wilayah yang sepakbolanya belum terlalu maju, tapi antusias publiknya tinggi. Seperti laporan Europol yang menyebut 65% aktivitas judi olahraga (60% nya judi sepakbola) ada di wilayah Asia dan hanya 21% di Eropa. Demikian pula dalam skala liga. Para mafia lebih suka mengincar liga yang tidak terlalu maju atau kurang profesional. Kasta liga yang lebih rendah juga mereka senangi.
Mengapa demikian?
Pertama, entah kebetulan atau tidak di negara-negara berkembang atau negara-negara yang sepakbolanya relatif belum terlalu maju (dibanding Eropa), perangkat hukum nasionalnya tidak cukup tangguh menjangkau kejahatan terorgarnisir seperti mafia bola. Jika di Eropa dan Amerika para agen polisi bisa menggerebek markas federasi, kantor klub dan memburu para pejabatnya, maka hal itu kecil kemungkinan terjadi di Indonesia.
Semakin maju sebuah negara, semakin tidak leluasa para mafia karena perangkat dan sistem hukum di negara tersebut juga telah maju. Bandingkan di Indonesia yang hanya memiliki "Satgas Anti Mafia Bola" dengan kewenangan sangat terbatas. Itupun sifatnya sementara dan sudah dibubarkan.
Jika di negara maju kejahatan olahraga menjadi salah satu perhatian besar bagi penegak hukum, maka di negara-negara yang kurang maju tindakan-tindakan kriminal dalam lingkup olahraga seringkali dibiarkan dan dimaklumi.
Kedua, para mafia menargetkan liga-liga yang tidak terlalu maju serta menyenangi kasta liga yang lebih rendah bukan tanpa alasan yang jelas. Menurut Europol, lebih mudah bagi para mafia untuk menemukan pemain, pelatih, dan wasit yang bisa disuap di liga yang kurang profesional atau di kasta liga yang rendah. Maka tak heran di liga yang kurang profesional atau di kasta liga yang rendah sering dijumpai pertandingan-pertandingan yang aneh.
Sudah pasti mafia sangat terobsesi pada hasil. Untuk memastikan hasil pertandingan sesuai skenario, mereka akan melakukan beragam cara. Tak melulu dengan menyuap, para mafia juga punya intrik lain untuk mengatur hasil pertandingan.
Di Eropa dan Amerika, para mafia yang sangat terorganisir dan profesional kerap "menyerang" pemain-pemain dengan isu terkait kehidupan pribadi atau keluarga. Kegaduhan diciptakan untuk membuat pemain tertekan sehingga tidak bisa bermain dengan baik. Narkoba dan alkohol juga dipakai oleh mafia untuk menciptakan masalah pada pemain yang ditargetkan.
Bagaimana di Indonesia?
Iklim sepakbola Indonesia saat ini sangat memenuhi syarat sebagai "playground" para mafia. Liga yang kurang profesional, tata kelola yang kurang maju, dan antusiasme publik yang tinggi merupakan kondisi ideal yang diimpikan para mafia.
Oleh karena itu, setiap upaya untuk membawa sepakbola Indonesia menjadi lebih maju dan profesional akan coba digagalkan.Tidak boleh ada perbaikan yang terlalu pesat di sepakbola Indonesia. Sebab iklim sepakbola yang semakin maju dan profesional, tidak akan memberi ruang leluasa pada politik, judi, suap, pencucian uang, dan pengaturan skor.
Orang-orang yang dianggap bisa memberi pengaruh baik pada sepakbola Indonesia perlu diganggu dan dilawan. Oleh karena itu, para mafia juga akan membenci orang-orang seperti Shin Tae Yong.
Apalagi ternyata STY tidak hanya melatih taktik, tapi juga berusaha merevolusi mental para pemain yang diasuhnya. Â Di Timnas Indonesia STY tidak sekadar juru latih, tapi juga seorang pembaharu. Pernyataannya yang secara tegas ingin membangun sistem dan landasan sepakbola Indonesia yang lebih baik dibanding terobsesi pada prestasi memperlihatkan kecenderungannya sebagai pembaharu.
Paradigma STY tentang profesionalisme pemain juga jadi ancaman tersendiri bagi para mafia. Â Ini salah satu alasan utama para mafia membenci STY.
Dalam kamus STY, profesionalisme lebih dari sekadar bermain mengikuti arahan pelatih atau bermain seperti yang diajarkan pada latihan. Paradigma STY ialah meleburkan nasionalisme ke dalam profesionalisme.
Oleh karenanya STY berulang kali mengingatkan para pemain timnas Indonesia untuk bermain seolah-olah siap mati di lapangan demi negaranya. STY tidak menyenangi pemain yang sengaja menghemat tenaga saat bermain. Ia menuntut pemain untuk rajin berlari dan segera bangkit jika terjatuh di lapangan.
Keputusan STY yang lebih memilih mengisi Timnas Indonesia dengan para pemain muda juga menyangkut profesionalisme. Selain untuk memotong generasi, STY kemungkinan besar berpikir bahwa lebih mudah menanamkan dan membentuk profesionalisme-nasionalisme kepada pemain-pemain muda dibanding mengubah pemain-pemain yang terlanjur susah "diperbaiki".
Bisa dimengerti pula mengapa STY mendorong para pemain muda berbakat Indonesia untuk merantau ke luar negeri. Sebab di luar negeri para pemain akan belajar banyak tentang profesionalisme dalam iklim sepakbola yang lebih maju. Mereka tidak hanya belajar teknik, tapi juga belajar budaya, bahasa, disiplin, dan nilai-nilai baru sehingga mereka bisa menjadi pemain yang lebih profesional dan berkarakter kuat.
Profesionalisme ala STY yang menuntut para pemainnya untuk membawa semangat cinta tanah air dan "siap mati di lapangan" merupakan kabar buruk bagi para mafia. Sebab pemain-pemain yang menghayati rasa cintanya pada bangsa dan negara tidak akan mudah dipengaruhi, dikendalikan, dan disuap. Jika pemain tidak bisa suap, maka arena judi akan kering. Jika arena judi kering, maka match fixing akan gulung tikar.
Andai "doktrin" STY tentang profesionalisme-nasionalisme ini diikuti oleh semua pemain, klub dan federasi, maka sepakbola Indonesia bisa bergerak lebih maju. Namun, sudah pasti mafia tidak menghendakinya.
Maka bisa dimengerti jika banyak pihak tidak ingin STY terlalu lam di Indonesia. Sebab STY bisa terlalu banyak membawa pengaruh baik bagi sepakbola negeri ini. Para mafia tidak akan rela kehilangan "playground" di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H