Keputusan STY yang lebih memilih mengisi Timnas Indonesia dengan para pemain muda juga menyangkut profesionalisme. Selain untuk memotong generasi, STY kemungkinan besar berpikir bahwa lebih mudah menanamkan dan membentuk profesionalisme-nasionalisme kepada pemain-pemain muda dibanding mengubah pemain-pemain yang terlanjur susah "diperbaiki".
Bisa dimengerti pula mengapa STY mendorong para pemain muda berbakat Indonesia untuk merantau ke luar negeri. Sebab di luar negeri para pemain akan belajar banyak tentang profesionalisme dalam iklim sepakbola yang lebih maju. Mereka tidak hanya belajar teknik, tapi juga belajar budaya, bahasa, disiplin, dan nilai-nilai baru sehingga mereka bisa menjadi pemain yang lebih profesional dan berkarakter kuat.
Profesionalisme ala STY yang menuntut para pemainnya untuk membawa semangat cinta tanah air dan "siap mati di lapangan" merupakan kabar buruk bagi para mafia. Sebab pemain-pemain yang menghayati rasa cintanya pada bangsa dan negara tidak akan mudah dipengaruhi, dikendalikan, dan disuap. Jika pemain tidak bisa suap, maka arena judi akan kering. Jika arena judi kering, maka match fixing akan gulung tikar.
Andai "doktrin" STY tentang profesionalisme-nasionalisme ini diikuti oleh semua pemain, klub dan federasi, maka sepakbola Indonesia bisa bergerak lebih maju. Namun, sudah pasti mafia tidak menghendakinya.
Maka bisa dimengerti jika banyak pihak tidak ingin STY terlalu lam di Indonesia. Sebab STY bisa terlalu banyak membawa pengaruh baik bagi sepakbola negeri ini. Para mafia tidak akan rela kehilangan "playground" di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H