Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengatur Isi dan Posisi Perabot Rumah untuk Memitigasi Gempa

17 Januari 2022   09:02 Diperbarui: 17 Januari 2022   15:45 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah rusak di Pandeglang akibat gempa bumi pada 14/1/2022 (foto: Pusdalops BNPB).

Rangkaian gempa bumi yang mengguncang sejumlah wilayah di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir kembali membawa dua peringatan yang sangat penting bagi kita. 

Pertama, Indonesia merupakan negeri yang sangat rawan bencana, termasuk gempa bumi. Ini sudah menjadi pengetahuan umum, tapi secara umum juga sering diremehkan.

Kedua, meski berulang kali diguncang gempa dengan kekuatan besar, kenyataannya masyarakat Indonesia masih belum siap dan belum disiapkan untuk hidup sadar bencana. Indikasi utama ialah lemahnya mitigasi yang tercermin dari gagapnya kita pada saat dan sesudah gempa terjadi.

Bahkan, saat tidak terjadi gempa pun kita gagap mitigasi. Lihatlah sebagian besar bangunan dan rumah di Indonesia yang belum berstandar tahan gempa. Berapa banyak orang yang ketika membangun atau membeli rumah turut memperhitungkan konstruksinya agar lebih tahan gempa? Rasanya sebagian besar masyarakat Indonesia kurang menyadari hal itu dan menganggapnya "baik-baik saja".

Di sisi lain kebanyakan pekerja bangunan di Indonesia belum menguasai kompetensi untuk menerapkan standar bangunan tahan gempa dalam pekerjaan mereka. Sementara pemanfaatan jasa arsitek, konsultan dan tenaga profesional untuk membangun rumah tahan gempa masih sulit diterapkan secara luas.

Namun, tidak sepenuhnya salah masyarakat. Sebab pemerintah pun gagap mitigasi. Ambil contoh infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, dan gedung pemerintah yang justru sering mudah rusak ketika diguncang gempa. Hal itu memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah belum sepenuhnya dilandasi oleh kesadaran bencana.

Tak hanya gagap mitigasi, kita pun cenderung abai edukasi. Pemerintah-pemerintah daerah tak terlalu rajin menyosialisasikan mikrozonasi serta peta risiko bencana di wilayahnya kepada masyarakat.

Dari mana masyarakat bisa tahu bahwa rumah yang akan dibangunnya berada di atas urat bumi yang rawan gempa? Bagaimana orang awam bisa memperhitungkan keamanan bangunan tinggal tinggalnya yang ternyata berada di atas endapan aluvial kalau informasi tentang hal itu tidak tersedia secara jelas?

Hal lain yang memprihatinkan, tapi harus diakui ialah mayoritas masyarakat Indonesia tidak pernah mendapatkan pendidikan dan keterampilan kebencanaan. Kecuali mempelajari secara mandiri melalui internet dan buku, belum ada bentuk pendidikan kebencanaan yang sistematis dan komprehensif di sekolah-sekolah.

Ironisnya setiap terjadi bencana seperti gempa bumi yang lumayan besar, gagasan tentang penguatan mitigasi terus diulang-ulang sebagai ide dan wacana.

Gagasan itu mencuat lagi ketika gempa bermagnitudo 6,6 mengguncang wilayah Banten yang dirasakan pula di Jabodetabek pada 14 Januari 2022 lalu. Gempa yang dipicu oleh aktivitas sesar naik tersebut berasosiasi dengan megathrust Selat Sunda yang telah terpetakan menyimpan energi besar.

Banyaknya rumah penduduk yang rusak menjadi isyarat lemahnya mitigasi bencana dari aspek kesiapan konstruksi bangunan. Padahal, potensi gempa bermagnitudo 8-9 terdeteksi di Selatan Jawa yang bisa menjalar ke Selat Sunda.

Jika gempa bermagnitudo 6 saja mampu menimbulkan kerusakan besar dan memicu kepanikan masyarakat, bisa diperkirakan efek gempa bermagnitudo 8-9 jika benar-benar terjadi. Tentu tanpa mitigasi konstruksi bangunan, kerusakan dan korban akibat gempa yang lebih besar tidak bisa dihindarkan.

Masalahnya, haruskah meminta masyarakat untuk membongkar dan merenovasi tempat tinggalnya agar lebih tahan gempa? Sanggupkah pemerintah merelokasi semua pemukiman yang ternyata berada di atas "urat nadi gempa"?

Di sinilah pentingnya mitigasi gempa ditekankan secara terus menerus di tengah masyarakat yang "terlanjur" mendiami rumah-rumah yang kurang berstandar tahan gempa atau di daerah rawan gempa. 

Bukan berarti menyederhanakan masalah dan mengecilkan potensi bahaya, tapi mitigasi untuk mengurangi risiko jatuhnya korban juga perlu disertai langkah-langkah praktis yang bisa diterapkan dengan mudah oleh setiap orang di tempat tinggalnya.

Alangkah baiknya penekanan tentang konstruksi rumah tahan gempa disertai edukasi mengenai pengaturan jenis, posisi dan susunan perabot-perabot yang mengisi rumah. Sebab memitigasi gempa dimulai dari rumah tidak cukup dengan memperhatikan bangunannya saja. Keberadaan benda-benda di dalam rumah juga menyumbang faktor risiko.

Meletakkan terlalu banyak perabot di sekitar pintu bisa menghambat upaya penyelamatan diri saat penghuninya harus segera keluar rumah ketika gempa terjadi. Oleh karena itu, kebiasaan dan keinginan menaruh meja dan banyak perabotan di dekat pintu kamar, pintu rumah, atau di sekitar tangga perlu disesuaikan ulang.

Meski penempatan perabotan seperti meja, patung, dan vas di sekitar pintu atau tangga bisa mempercantik ruangan, kemudahan akses keluar dari ruangan atau rumah tidak boleh dikorbankan. Aturlah posisi perabotan di dalam rumah agar tetap tersedia "jalan keluar" yang mudah untuk menyelamatkan diri ketika ada bahaya.

Berdasarkan prinsip tersebut, sebaiknya juga tidak memarkir kendaraan seperti sepeda motor di muka pintu. Kecuali tidak ada pilihan ruangan atau bagian lain di rumah yang bisa digunakan untuk meletakkan kendaraan.

Kebiasaan memasang rak bertingkat pada dinding di atas tempat tidur juga berisiko. Jika harus meletakkan lemari besar di dekat tempat tidur, pastikan tidak menjejali bagian atas lemari dengan benda-benda yang besar atau berat. 

Sebaiknya pula tidak memasang terlalu banyak lampu gantung di dalam rumah. Sebab jika terjadi gempa, banyak perabotan di ketinggian tersebut bisa berjatuhan dan membahayakan manusia di bawahnya.

Pemilihan jenis perabot juga penting untuk diperhatikan. Meletakkan meja dari bahan kayu yang kuat di ruang keluarga akan lebih baik daripada memajang meja besar berbahan kaca. 

Sebab saat gempa terjadi, berlindung di bawah meja kayu yang kuat merupakan salah satu upaya penyelamatan diri. Sedangkan meja dari kaca justru meningkatkan risiko karena mudah pecah dan serpihannya bisa melukai.

Hal-hal sepele di atas sudah saatnya lebih diperhatikan dalam mitigasi gempa. Sudah seharusnya setiap orang mampu mengurangi risiko bencana secara lebih mandiri melalui kebiasaan-kebiasaan yang dimulai dari rumah. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk melihat dan mengatur ulang isi rumah kita mulai dari sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun