Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Anak-anak Indonesia Bercita-cita Jadi Seperti Rachel Vennya

15 Desember 2021   08:48 Diperbarui: 15 Desember 2021   08:57 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Manusia-manusia kuat, itu Rachel Venya"

Mari bayangkan di sebuah kelas. Guru bertanya kepara para muridnya.

"Anak-anak, siapa yang ingin mejadi pilot?".

Tak ada yang menjawab. Tiada pula yang angkat tangan. Beberapa murid hanya saling menoleh.

Tentu mereka tahu siapa dan seperti apa pilot itu. Penerbang pesawat yang mampu menembus awan dan melintasi benua. Namun, sekarang agaknya pilot semakin kurang populer dan kalah keren. Kalau urusan menantang, ada profesi lain yang lebih menantang.

"Siapa yang mau jadi dokter?", sang guru mengganti pertanyaan.

Kali ini banyak murid yang saling menoleh. Pertanda antusias. Namun, sang guru kembali melihat hal yang sama. Tak ada yang angkat tangan. Tidak ada satu pun muridnya yang menjawab. Bahkan, si juara kelas pun bungkam.

Apakah mereka tidak tahu kehebatan dokter? Tentu saja paham. Salah satu pekerjaan paling mulia karena menjadi kepanjangan Tuhan dalam menyembuhkan orang sakit dan menyelamatkan nyawa.

Namun, semenjak pandemi Covid-19 profesi dokter tercemar oleh tuduhan dan hoax yang menyebut para dokter telah mengambil keuntungan dengan "men-Covid-kan" pasien. Anak-anak jadi takut menjadi dokter sebab sudah berjuang mati-matian, tapi difitnah. Insentifnya  pun telat dibayarkan. Benar-benar kurang dihargai.

Sang guru mulai heran dan penasaran. Ada apa dengan murid-muridnya? Ia pun kembali bertanya.

"Ya sudah. Kalau jadi polisi, siapa yang mau?" Kali ini sang guru yakin pertanyaannya akan bisa memancing para murid. Apalagi ada beberapa murid di kelas itu yang orang tuanya berprofesi sebagai polisi. Sudah barang tentu mereka ingin jadi seperti orang tuanya.

Namun dugaannya keliru lagi. Kelas tetap sunyi. Beberapa hanya murid saling sikut dan berbisik. Setengah tidak percaya, sang guru pun mengulang pertanyaan yang sama.

"Jadi polisi? Bener nggak ada yang mau??"

Ternyata memang tak ada. Bahkan, murid yang orang tuanya seorang polisi pun tidak mengangkat tangannya. Ia menunduk seolah tak ingin wajahnya terlihat.

Apa gerangan yang terjadi? Padahal polisi sangat populer di mata anak-anak. Polisi terlihat di mana saja. Bahkan, setiap pagi ada beberapa polisi yang membantu mengatur lalu lintas di depan sekolah.

Di TV mereka juga menonton tayangan polisi yang menangkap para pengedar narkoba, pemabuk dan pebalap liar. Beberapa waktu lalu mereka mungkin juga menonton kegagahan polisi yang menggeledah ponsel seorang warga.

Pendek kata, polisi merupakan gambaran ideal tentang kegagahan dan keberanian. Siapa yang tidak ingin dipandang gagah dan berani?

Namun, ternyata tidak ada satupun murid yang berpikir untuk menjadi polisi. Mungkin karena akhir-akhir ini mereka tahu semakin banyak oknum yang telah mencoreng citra polisi. Para oknum telah melunturkan kepercayaan dan kekaguman orang pada sosok polisi.

Bukannya terlihat gagah dan berani, polisi justru tampak sewenang-wenang dan ugalan-ugalan. Mereka yang ada terlibat penyuapan, peredaran narkoba,  pungli, pencabulan, dan tindakan-tindakan kriminal lainnya. Polisi juga kurang sigap melayani masyarakat. Padahal, slogan mereka ialah "mengayomi dan melayani masyarakat". Nyatanya mereka baru bertindak gesit saat peristiwanya sudah viral.

Agaknya itu membuat anak-anak kurang tertarik lagi menjadi polisi. Takut ikut kena getahnya kalau ada kolega yang ketahuan menjadi oknum dan diviralkan.

Sang guru terlihat resah. Walau demikian ia tak putus asa. Dengan cepat ia mengajukan pertanyaan baru.

"Kalau yang cita-citanya jadi selebgram?"

Pertanyaan yang jitu. Banyak tangan segera terangkat ke atas. Sang guru yang melihat pemandangan di depan matanya sedikit lega, tapi juga cemas. Ia putuskan mendengar lebih banyak lagi dari para murid yang mengangkat tangannya. Mengapa mereka ingin menjadi selegram.

Murid pertama menjawab karena selebgram banyak uangnya. Seorang temannya menambahkan kalau selebgram kerjanya enak, foto-foto, jalan-jalan, dan liburan. Murid berikutnya mengaku ingin dapat banyak endorse agar tak perlu keluar banyak uang untuk belanja barang-barang. Sedangkan murid lain ingin menjadi selebram agar bisa terkenal dan berteman dengan artis dan pejabat. Kalau sudah terkenal bisa melakukan apa saja.

Sang guru tak menyanggah jawaban para murid. Dalam hati ia pun mengamini keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki selebgram. Oleh karena itu, dilanjutkan lagi pertanyaan berikutnya.

"Kalau selebgram, mau jadi seperti siapa?"

Kelas semakin gaduh. Semua berebut menjawab dan menyebut nama yang sama. "Rachel Vennya!".

Sang guru semakin terkejut. Namun, kembali ia ingin mendengar alasan para murid.

Kata satu murid, ia ingin jadi manusia kuat seperti Rachel Vennya. Manusia biasa yang kekuatannya bisa menaklukan hukum dan negara. Meski pelanggaran hukum yang dibuatnya termasuk kategori sangat berbahaya di masa pandemi, tapi Rachel Vennya punya kekuataan lebih dari yang diduga. Murid lainnya tak mau kalah memuji idolanya. Katanya tante Rachel Vennya selain cantik, juga punya sopan santun. Kesopanannya paripurna sehingga siapapun akan luluh melihatnya. Buktinya berkat kesopanannya yang luar biasa, ia diistimewakan di depan hukum. Berkat sopan santun, perbuatan menyuap petugas dan kabur dari karantina diampuni begitu saja.

Murid berikutnya juga mengidolai Rachel Vennya karena kesopanannya. Katanya sopan santun sangat penting karena sesuai dengan Pancasila. Sedangkan murid sebelahnya berkata bahwa kesopanan di atas segalanya. Orang boleh berbuat nakal dan jahat, asal sopan di pengadilan maka ia akan dimudahkan jalan kebebasannya.

Sang guru lagi-lagi tak membantah semua itu meski ia sangat ingin berkata banyak kepada para murid. Apa mau dikata. Fakta yang tampak memang terlalu jelas untuk ditutupi.

Walau demikian ia sedikit lega karena ada satu murid yang ternyata tidak ikut mengangkat tangan, yakni si juara kelas. Artinya ia tak tertarik menjadi seperti Rachel Vennya. Kepadanya sang guru bertanya tentang cita-cita.

Ternyata satu murid ini ingin menjadi hakim. Alasannya agar mudah memaafkan dan mengampuni sesama. Memaafkan merupakan perbuatan terpuji dan menjadi pemaaf berarti berhati luas. Seperti yang dicontohkan di Indonesia. Banyak hakim yang pemaaf. Mereka mudah memaafkan para koruptor dan juga memaafkan Rachel Vennya.

Semoga semua ini tak pernah terjadi di kelas manapun di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun