Setiap 100 gram jeroan, usus dan babat sapi mengandung lebih dari 120 mg kolesterol. Jumlah itu lebih banyak dari batas harian asupan kolesterol yang wajar dikonsumsi.
Informasi atau pemberitahuan di atas sudah seperti pengetahuan umum. Banyak orang mengetahuinya layaknya kita menganggap kolesterol sebagai zat jahat penyebab banyak penyakit.
Walau demikian "disclaimer" tentang babat dan kolesterol agaknya tidak terlalu menakutkan bagi penikmatnya. Mungkin karena lidah manusia hanya mencecap rasa enak atau tidak enak. Lidah tidak mendeteksi sisi jahat suatu makanan. Lagipula jahat atau tidak, selagi terasa nikmat maka artinya "silakan lanjutkan mengunyah". Bukankah demikian?
Nyatanya memang demikian. Makanan yang menggunakan babat dan jeroan sebagai isian justru banyak penikmatnya di Indonesia. Bahkan, untuk menu tertentu harga olahan babat setara ataumalah lebih mahal dibanding menu sejenis yang menggunakan daging.
Padahal, secara logis babat yang sering dianggap sebagai "bahan sisa" atau "jaringan menjijikan" karena wujudnya kurang menarik dan berbau tidak akan menggugah selera. Tidak mungkin cita rasanya menyaingi kenikmatan olahan daging.
Namun, keajaiban dapur orang Indonesia dan sentuhan ajaib bumbu-bumbu nusantara ternyata bisa menyulap babat menjadi sesuatu yang nikmat. Begitu nikmatnya sehingga kandungan kolesterol di dalamnya seolah tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang jahat.
Saya termasuk penikmat babat. Dengan catatan sudah diolah sampai tidak berbau lagi.
Olahan babat yang saya senangi ialah soso babat. Memang tidak tidak terlalu sering saya menyantapnya. Walau demikian pada setiap kesempatan menjumpai soto babat, saya selalu punya selera terhadapnya. Sebab saya memang penyuka soto. Semangkuk soto hampir tak pernah gagal memancing nafsu makan saya.
Khusus soto babat ada alasan subyektif tersendiri yang membuat saya bisa menikmatinya. Sampai detik ini saya tidak menyukai jeroan sapi dan kambing yang berupa usus, paru, dan hati. Akan tetapi dengan babat lain cerita. Babat bisa diterima dengan baik oleh lidah saya.
Sebenarnya dulu setiap menyantap gulai atau olahan daging  yang mengandung babat, selera makan saya langsung terganggu. Sering saya menemukan potongan babat masih berbau, amis, dan terlalu kenyal ada di gulai. Akibatnya saya bukan hanya tidak menyukai babat, tapi juga menganggapnya sebagai sesuatu yang merusak cita rasa makanan.
Cukup lama saya menaruh "kebencian" pada babat. Sampai pada suatu hari saya mencicipi babat dalam semangkuk soto yang disajikan oleh seorang penjual. Ternyata cukup enak. Babat tersebut tidak berbau. Tekturnya sedikit kenyal, tapi empuk saat dikunyah.
Sejak saat itu saya menyenangi soto babat. Â Saya pun bisa menerima babat sebagai hidangan yang nikmat. Kini bagi saya semangkuk soto babat sama nikmatnya dengan soto ayam dan soto sapi. Â
Memang sepintas wujud jaringan babat kurang menarik. Apalagi yang namanya "babat handuk". Walau demikian babat sebagai isian soto tak lagi saya anggap sebagai sesuatu yang menjijikkan.
Babat menjadi sangat berbeda dalam racikan soto. Bentuknya yang kurang menarik tak perlu lagi dipersoalkan. Mungkin karena pengaruh komposisi bumbu dan kuah soto yang bercita rasa kuat sehingga babat menjadi nikmat. Aneka rempah dalam bumbu dan kuah soto tak hanya menetralkan aroma babat, tapi juga memberikan rasa baru. Lewat semangkuk soto saya bisa menemukan rasa manis dan gurih ada di babat.
Soto tetap nikmat dengan babat. Adanya babat tak merusak komposisi maupun rasa soto. Malah bisa menyatu dengan isian lainnya seperti mie soun, tauge, daun bawang, dan tomat.Â
Disantap bersama kuah soto yang hangat, babat tak kalah dengan potongan daging sapi atau suwiran daging ayam. Sama-sama nikmat.
Itulah sebabnya saya menyukai soto babat. Namun, saya termasuk yang tetap mengingat "disclaimer" tentang kolesterol di atas. Oleh karenanya, meski nikmat sebaiknya jangan terlalu sering menyantap soto babat.
Sebulan atau dua bulan sekali sudah cukup bagi saya untuk menjaga selera nikmat pada soto babat. Dengan cara demikian pula semoga babat tidak akan menjadi jahat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H