Bahkan, pada untaian kata-kata dan coretan gambar di tembok saja sekarang kita takut luar biasa. Dengan mudahnya kita menerjemahkan sebuah mural sebagai ancaman terhadap negara.
Apakah salah bila rakyat curhat di dinding dengan menulis "dipaksa sehat di negara yang sakit"?
Kenyataannya kita sedang tidak sehat akibat pandemi, korupsi, dan ancaman disintegrasi. Para pejabat kita sendiri bilang bahwa "Indonesia sedang tidak baik-baik saja", terutama karena cekaman pandemi yang berkepanjangan. Masyarakat pun harus berjuang melindungi diri dan sesama agar terhindar dari ancaman Covid-19.
Itu maknanya sama dengan rakyat diminta dan dipaksa atas nama kemanusiaan agar tetap sehat di tengah situasi yang tidak normal.
Jika para pejabat boleh mengatakan, "Indonesia sedang tidak baik-baik saja", mengapa rakyat dilarang curhat, "dipaksa sehat di negara yang sakit?"
Apakah rakyat harus meniru bahasa para pejabat?
Sulit rasanya. Sebab para pejabat dan pemimpin punya banyak fasilitas dan keistimewaan yang membuat mereka lebih terlindungi. Sedangkan bagi rakyat biasa mengakses fasilitas kesehatan dasar pun masih sering tanda tanya.
Kenyataannya selama beberapa bulan terakhir, puluhan ribu nyawa melayang akibat  serangan Covid-19. Sebagian besar di antaranya terjadi di periode di mana layanan kesehatan kolaps sehingga banyak pasien ditolak masuk RS dan tidak mendapatkan perawatan memadai.
Anehnya, para pejabat dan pemimpin dengan entang mengatakan banyaknya pasien meninggal dunia itu karena terlambat datang ke rumah sakit. Oleh karena itu para pejabat meminta agar pasien Covid-19 sebaiknya tidak isolasi mandiri di rumah.
Tentu mudah mengatakan itu. Padahal pasien-pasien itu meninggal bukan karena tidak ingin ke rumah sakit. Mereka sudah berkeliling mencari pertolongan. Namun, ditolak karena kamar rumah sakit sudah penuh. Akhirnya mereka semakin sakit dan saat sakitnya semakin parah mereka "dipaksa untuk segera sehat" dengan berdiam sendirian di rumah.
Kenyataan itulah yang termuat dalam mural "dipaksa sehat di negara yang sakit".