Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jika Vaksin Covid-19 "Gotong Royong" Tetap Dijual, Jokowi Ingkar Janji

12 Juli 2021   08:07 Diperbarui: 12 Juli 2021   15:39 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vaksin gratis vs Vaksin berbayar | foto: tangkapan layar kompas.com

Walau demikian label "Gotong Royong" yang disematkan pada vaksinasi berbayar sangat  tidak tepat dan layak dikritik. Dikaitkan dengan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, vaksinasi berbayar untuk individu justru mengkhianati prinsip kesetaraan, keadilan, dan tanggung jawab pemerintah dalam menanggulangi wabah.

Dalam UU ditekankan tanggung jawab utama penanggulangan wabah ada di tangan pemerintah yang perlu dipenuhi dalam rangka "meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat".

Artinya ada tanggung jawab yang seharusnya dimaksimalkan oleh pemerintah untuk mengupayakan sebanyak mungkin masyarakat mampu mendapatkan vaksin secara mudah. Gotong royong oleh segenap masyarakat memang diperlukan, tapi bukan "pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada pihak lain".

Penekanannya ialah "meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat" yang seharusnya diwujudkan dengan mempermudah dan memperluas vaksinasi gratis terlebih dulu.

Untuk itu pemerintah perlu mengoptimalkan lini pelayanan publik mulai dari klinik desa, puskesmas, kantor polisi, dan sebagainya. Jika vaksinasi gratis saat ini masih terkendala dengan banyaknya antrean, distribusi vaksin, dan minimnya sosialiasi, maka solusinya ialah membenahi manajemen dan strategi pelaksanaannya di lapangan. Bukan dengan menempuh jalan pintas melalui vaksin berbayar.

Perlu diketahui bahwa sejumlah fasilitas kesehatan seperti puskemas sebenarnya memiliki kapasitas yang tinggi, tapi kuota vaksinnya terbatas. Beberapa polsek bahkan hanya mendapatkan jatah vaksin kurang 100 dosis. Akibatnya saat minat warga tinggi, puskemas dan polsek terpaksa menolak permintaan masyarakat.

Percepatan vaksinasi Covid-19 seharusnya lebih dulu dilakukan dengan mengikis kesenjangan di atas. Hambatan birokrasi juga perlu sungguh-sungguh diperbaiki. Persoalan data penerima vaksin yang coba diatasi dengan membebaskan syarat domisili harus dipertegas dan diperjelas. Sebab pada praktiknya banyak daerah dan fasilitas kesehatan yang masih menerapkan syarat domisili atau surat dari desa. (Baca: 2 Kali Gagal Vaksinasi karena Birokrasi, Ibu Saya Akhirnya Ditolong Polisi).

Oleh karena itu, vaksinasi berbayar tidak tepat dilabeli "gotong royong" karena ada tanggung jawab pemerintah yang belum terpenuhi dalam mempermudah dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mendapatkan vaksin gratis.

Diskriminasi Kesehatan dan Kesenjangan Vaksin

Sayangnya pemerintah termasuk pemerintah daerah seolah tidak mau repot untuk membenahi persoalan seputar vaksinasi. Terutama terkait antrean, keterbatasan kuota, dan sosialisasi.

Bukannya lebih dulu membenahi pokok persoalan secara maksimal, pemerintah justru menerapkan vaksin berbayar untuk individu. Ada kesan kuat diskriminasi kesehatan di tengah pandemi. Seolah "Kalau tidak mau antre dan menunggu kuota, silakan bayar. Kalau mau gratis, harap maklum menunggu lebih lama".

Akan sangat ironis jika saat vaksinasi berbayar diterapkan, hambatan vaksinasi gratis seperti antrean dan kuota tidak bisa teratasi.

Jangan sampai label "Gotong Royong" pada vaksin berbayar untuk individu menjadi pembenaran untuk diskriminasi dan ketidakadilan di tengah pandemi. Sebab kuota 100-500 vaksin yang diberikan kepada setiap klinik Kimia Farma untuk dijual telah mengurangi kesempatan masyarakat umum untuk mendapatkan vaksin gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun