Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

2 Kali Gagal Vaksinasi karena Kendala Birokrasi, Ibu Saya Akhirnya "Ditolong" Polisi

1 Juli 2021   08:50 Diperbarui: 1 Juli 2021   12:00 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Layanan vaksinasi Covid-19 di gerai klinik Kepolisian| foto: tribratanews.jateng.polri.go.id.

Dua minggu belakangan banyak hal berjejalan di pikiran dan hati saya. Membuat saya agak sulit untuk setenang sebelumnya di tengah amukan Corona yang semakin mengancam.

Beberapa waktu lalu adik saya demam usai disuntik vaksin Covid-19. Ia salah satu penerima vaksin Astra Zeneca di Yogyakarta. Sebagai pegawai sektor pelayanan publik adik saya sebenarnya agak terlambat mendapatkan vaksin. Mungkin karena KTP nya bukan KTP DIY. Awalnya prosedur vaksinasi memang masih memprioritaskan kesesuaian KTP dan domisili. Baru dua minggu terakhir akses vaksin dipermudah bagi setiap warga masyarakat.

Meski sudah bisa dipahami bahwa vaksin akan menimbulkan efek samping, tapi tidak mudah untuk mengendalikan respon kecemasan setelah efek samping itu muncul. Apalagi, demam yang dialami oleh adik saya berlangsung sampai 3 hari.

Saya ikut gelisah. Ia saya minta untuk melapor ke fasilitas kesehatan tempatnya menerima vaksin. Bukan meragukan vaksin Covid-19. Akan tetapi demi mendapatkan informasi mengenai langkah-langkah yang perlu kami ambil jika efek samping vaksin terus dirasakan.

Syukurlah, pada hari keempat kondisinya membaik. Suhu tubuhnya kembali normal dan stabil sepanjang hari.

Walau demikian masih ada kegelisahan lain yang perlu saya atasi. Usai memastikan kondisi adik saya telah pulih, saya pulang kampung untuk menemani ibu mendapatkan vaksinasi.

Saya cukup geram dengan apa yang dialami oleh ibu saya. Ia warga Jawa Tengah yang dua kali gagal divaksin karena masalah birokrasi yang konyol. Sebagai lansia, pada Ramadan lalu ibu mestinya mendapatkan vaksin. Dua kali ia sudah datang ke puskemas untuk antre disuntik vaksin.

Kegagalan yang kedua terasa konyol karena sebelumnya ia sudah mendaftar di puskemas. Nama dan nomor telepon sudah dicatat oleh petugas. Beberapa hari kemudian datang kabar. Ibu pun berangkat ke puskemas.

Namun, setelah dilayani oleh petugas skrining dan mengisi formulir, tiba-tiba petugas lain mengatakan bahwa ibu saya belum bisa divaksin. Ibu ditolak karena namanya belum ada di daftar penerima vaksin. Itu membuat ibu kaget dan kecewa. Sebab sebelumnya ia diperbolehkan vaksinasi dan diminta datang ke puskesmas.

Lucunya, ibu diarahkan untuk melakukan pendaftaran ulang sendiri melalui bidan desa atau kantor lurah. Ibu akhirnya meninggalkan puskemas. Ia pulang seorang diri dengan menumpang angkutan umum. Sementara para tetangga yang belum lansia ternyata bisa divaksin.

Mengetahui hal itu saya merasa kesal. Seorang lansia dua kali gagal mendapatkan vaksin Covid-19 karena alasan yang membingungkan. Seharusnya tak ada masalah dengan identitas kependudukan ibu saya. Masalahnya ada pada profesionalisme pelayanan vaksinasi.

Akibat penolakan tersebut, ibu saya sempat "ngambek" sehingga tidak mau divaksin. Sejak Ramadan saya terus berusaha meyakinkan bahwa ia perlu divaksin sambil menyarankan agar mencari informasi ke kantor lurah atau bidan desa. Namun, ibu menolak. Katanya ia sudah tidak merasa perlu divaksin dan hanya minta didoakan supaya tetap sehat.

Mengantre vaksinasi Covid-19 |dok. pribadi.
Mengantre vaksinasi Covid-19 |dok. pribadi.
Sebuah "pertolongan" akhirnya datang awal Juni lalu. Melihat berita di media sosial tentang serbuan vaksinasi massal dalam rangka Hari Bhayangkara, saya mencoba mencari tahu apakah kegiatan itu juga dilakukan di daerah-daerah lain.

Dimulai dengan menghubungi akun media sosial polres, lalu saya diarahkan untuk mendaftar ke polsek. Dengan agak ragu, saya mencoba mengirim pesan ke akun instagram polsek. Ternyata direspon. Saya diperbolehkan mendaftarkan ibu saya secara "online" dengan menyebutkan nama, NIK, dan alamatnya lewat whastapp. Namun, karena kuotanya terbatas jatah vaksin belum bisa dipastikan.

Baru 1 jam kemudian saya mendapatkan kabar lewat whatsapp. Disebutkan bahwa ibu saya sudah terdaftar sebagai peserta vaksinasi Covid-19 dari "keluarga polsek".

Sempat saya bingung dengan maksud "keluarga polsek" tersebut. Tapi ibu saya diminta datang ke tempat vaksinasi pada hari yang telah ditentukan.

Ke grup percakapan keluarga saya memberitahukan pendaftaran  vaksinasi bagi ibu. Mengetahui sudah mendapatkan jadwal vaksinasi, ibu ternyata masih antusias. Saya pun memutuskan akan menemaninya saat vaksinasi. Saya juga memilih untuk memantaunya paling tidak dua hari sebagai antisipasi jika ibu mengalami efek samping yang berkepanjangan seperti adik saya.

Tidak masalah saya harus membatalkan keikutsertaan pada Sound of Borobudur bersama Kompasiana. Sebab kebutuhan untuk memastikan bahwa vaksinasi ibu berjalan lancar lebih saya prioritaskan saat itu.

Pada hari vaksinasi, 22 Juni 2021, kami tiba di lokasi sekitar pukul 08.30. Rupanya sudah ada banyak orang yang antre. Sementara ibu menunggu di lokasi parkir, saya mencari tahu mekanisme vaksinasi bagi yang telah mendaftar sebelumnya.

Seorang petugas menanyakan undangan dari desa atas nama ibu saya. Itu membuat saya agak terkejut dan bingung menjawabnya. Tentu saja saya tak punya undangan tersebut.

Mungkin beginilah yang ibu saya alami sebelumnya sampai ia ditolak vaksinasi. Bahwa harus ada semacam surat restu dari pejabat desa supaya seseorang bisa terdaftar sebagai penerima vaksin.

Beruntung di sekitar lokasi ada banyak polisi. Saya pun menunjukkan pesan whatsapp yang saya terima. Ternyata saat itu peserta vaksinasi dibagi menjadi beberapa kategori. Ada yang dilayani sesuai domisili dengan syarat mendapatkan undangan atau pengantar dari desa, ada pula dari kategori "keluarga polsek" yang tidak perlu pengantar dari lurah atau kepala desa.

Seorang polisi mengarahkan saya untuk langsung mengambil formulir dan nomor antrean sekaligus. Saya segera mengisinya dengan menuliskan data pribadi ibu.

Sambil menunggu antrean, saya saksikan beberapa orang ditolak vaksinasi karena tidak memiliki undangan dari desa atau berbeda domisilinya. Seketika saya bersyukur karena kali ini vaksinasi untuk ibu dipermudah lewat jatah "keluarga polsek".

Sekitar pukul 09.30 ibu saya akhirnya disuntik vaksin Covid-19. Prosesnya berjalan lancar. Selama observasi di tempat tidak ada tanda-tanda efek samping yang berat. Baru beberapa jam kemudian setelah di rumah ibu merasa agak lemas dan mengantuk. Esok harinya ia demam. Tapi segera normal setelah meminum obat.

Sekarang saya merasa lebih lega. Paling tidak orang tua saya telah mendapatkan vaksin Covid-19. Walau untuk mendapatkannya harus melalui rintangan birokrasi dan kesenjangan vaksin. Ibu akan mendapat suntikan dosis kedua pada Juli ini.

Tentang kesenjangan vaksin, ibu sempat merasa iri ketika melihat berita di TV tentang vaksinasi Covid-19 bagi masyarakat di beberapa kota. Pemerintah dan swasta menyediakan banyak sentra vaksinasi massal di gedung-gedung besar, di mal dan di gelanggang olahraga. Bahkan, di beberapa kota disediakan layanan antar jemput bagi lansia untuk menuju tempat vaksinasi. Petugas-petugas pun jemput bola ke rumah-rumah warga untuk memberikan informasi seputar vaksinasi Covid-19.

Namun, kemudahan tersebut tak dirasakan oleh ibu saya dan masyarakat yang tinggal jauh dari kota besar. Jangankan untuk mendapatkan vaksin, informasi tentang pendaftaran, tempat dan jadwal vaksinasi pun tidak mudah diakses. Sebab birokrasi pelayanan kesehatan dari tingkat kabupaten hingga desa cenderung pasif.

Contohnya vaksinasi yang diikuti oleh ibu pada Juni tersebut. Informasinya hanya dijumpai di media sosial kepolisian setempat. Sedangkan pemerintah kabupaten atau dinas kesehatan tak mengabarkan hal yang sama.

Oleh karena itu, sangat disyukuri ada mekanisme untuk mengakses vaksinasi Covid-19 oleh lembaga negara seperti Polri yang ternyata lebih mudah dan profesional. Memang sudah seharusnya demikian.

Layanan vaksinasi Covid-19 difasilitasi oleh Kepolisian |dok. pribadi.
Layanan vaksinasi Covid-19 difasilitasi oleh Kepolisian |dok. pribadi.
Untungnya kini pemerintah telah menetapkan prosedur baru yang lebih mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Tidak lagi harus berdasarkan kesesuaian antara domisili dan lokasi vaksinasi, masyarakat Indonesia bisa disuntik vaksin Covid-19 secara lebih mudah.  

Walau demikian akses terhadap vaksin masih perlu disertai dengan kemudahan akses informasi seputar vaksinasi. Penting pula untuk mencegah kerumunan saat pelaksanaan vaksinasi akibat ketidaksiapan pelaksanaan demi mengejar target jumlah suntikan.

Semoga kesenjangan vaksin dan birokrasi bisa dikikis agar semakin banyak masyarakat  bisa dilayani. Vaksinasi Covid-19 merupakan bagian dari hak warga negara untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Selamat HUT Bhayangkara. Terima kasih, bapak dan ibu polisi. Terima kasih telah membantu ibu saya mendapatkan vaksin Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun