Akibat penolakan tersebut, ibu saya sempat "ngambek" sehingga tidak mau divaksin. Sejak Ramadan saya terus berusaha meyakinkan bahwa ia perlu divaksin sambil menyarankan agar mencari informasi ke kantor lurah atau bidan desa. Namun, ibu menolak. Katanya ia sudah tidak merasa perlu divaksin dan hanya minta didoakan supaya tetap sehat.
Dimulai dengan menghubungi akun media sosial polres, lalu saya diarahkan untuk mendaftar ke polsek. Dengan agak ragu, saya mencoba mengirim pesan ke akun instagram polsek. Ternyata direspon. Saya diperbolehkan mendaftarkan ibu saya secara "online" dengan menyebutkan nama, NIK, dan alamatnya lewat whastapp. Namun, karena kuotanya terbatas jatah vaksin belum bisa dipastikan.
Baru 1 jam kemudian saya mendapatkan kabar lewat whatsapp. Disebutkan bahwa ibu saya sudah terdaftar sebagai peserta vaksinasi Covid-19 dari "keluarga polsek".
Sempat saya bingung dengan maksud "keluarga polsek" tersebut. Tapi ibu saya diminta datang ke tempat vaksinasi pada hari yang telah ditentukan.
Ke grup percakapan keluarga saya memberitahukan pendaftaran  vaksinasi bagi ibu. Mengetahui sudah mendapatkan jadwal vaksinasi, ibu ternyata masih antusias. Saya pun memutuskan akan menemaninya saat vaksinasi. Saya juga memilih untuk memantaunya paling tidak dua hari sebagai antisipasi jika ibu mengalami efek samping yang berkepanjangan seperti adik saya.
Tidak masalah saya harus membatalkan keikutsertaan pada Sound of Borobudur bersama Kompasiana. Sebab kebutuhan untuk memastikan bahwa vaksinasi ibu berjalan lancar lebih saya prioritaskan saat itu.
Pada hari vaksinasi, 22 Juni 2021, kami tiba di lokasi sekitar pukul 08.30. Rupanya sudah ada banyak orang yang antre. Sementara ibu menunggu di lokasi parkir, saya mencari tahu mekanisme vaksinasi bagi yang telah mendaftar sebelumnya.
Seorang petugas menanyakan undangan dari desa atas nama ibu saya. Itu membuat saya agak terkejut dan bingung menjawabnya. Tentu saja saya tak punya undangan tersebut.
Mungkin beginilah yang ibu saya alami sebelumnya sampai ia ditolak vaksinasi. Bahwa harus ada semacam surat restu dari pejabat desa supaya seseorang bisa terdaftar sebagai penerima vaksin.
Beruntung di sekitar lokasi ada banyak polisi. Saya pun menunjukkan pesan whatsapp yang saya terima. Ternyata saat itu peserta vaksinasi dibagi menjadi beberapa kategori. Ada yang dilayani sesuai domisili dengan syarat mendapatkan undangan atau pengantar dari desa, ada pula dari kategori "keluarga polsek" yang tidak perlu pengantar dari lurah atau kepala desa.