Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tradisi Mematikan Toa Masjid Saat Sahur

1 Mei 2021   20:15 Diperbarui: 1 Mei 2021   20:21 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menara masjid dengan toa |dok. pribadi.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, monggo dhahar sahur...wekdal imsak tigang ndoso menit malih..sahurrrr...sahurrrr..."

Begitulah orang Jawa membangunkan sesamanya untuk makan sahur saat bulan Ramadan di kampung saya. Kalau dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih, "Bapak-bapak, ibu-ibu, silakan makan sahur...waktu imsak 30 menit lagi..sahurrr...sahurrr".

Suara itu merambat dari toa mushola yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah. Sejak kecil telinga ini hafal dengan suaranya. Sebab orang di balik toa mushola kampung biasanya itu-itu saja, yakni pengurus mushola.

Melalui toa dan suara khas pengurus mushola tradisi membangunkan orang sahur di kampung bertahan selama bertahun-tahun. Dilandasi niat baik agar warga kampung tak terlambat bangun, pengurus mushola rela bangun lebih awal di saat kebanyakan warga masih terlelap.

Secara berkala, biasanya dimulai sejak satu jam sebelum imsak, suara mereka menjadi alarm tanda sahur. Berulang-ulang mereka membangunkan para tetangga. Demi memastikan semua orang telah bangun, mendekati waktu imsak suara mereka akan lebih dikeraskan. Bunyi-bunyian "sahurrr..." menjadi lebih panjang terdengar ujung vokalnya.

Membangunan lewat toa mushola dan masjid bukan satu-satunya tradisi jelang sahur di kampung saya dulu. Selagi toa mushola tetap siaga, suara-suara lain yang tak kalah kencang ikut terdengar. Botol, ember, gayung, dan kentongan ditabuh bersamaan. Diarak berkeliling kampung oleh sejumlah anak dan remaja yang tak merasa khawatir terserang paru-paru basah.

Dulu rombongan "drumband sahur" itu pasti lewat di depan rumah. Saya akui kadang irama yang dimainkan cukup asyik. Bunyi-bunyiannya rancak  seolah mengikuti ketukan tertentu. Namun, tak jarang pula yang sampai di telinga hanya suara kerasnya saja.

Dari jauh saja sudah terdengar keras bunyinya. Apalagi saat melintas di depan rumah. Saya suka mengintip aksi rombongan drumband ini dari balik gorden jendela ruang tamu. Beberapa di antara mereka merupakan teman sepermainan. Saya sebenarnya ingin sesekali ikut drumband sahur. Dulu beberapa kali saya meminta izin kepada orang tua untuk ikut berkeliling kampung. Sayangnya izin tak pernah saya dapatkan.

Dari dua tradisi membangunan orang sahur di atas, suara toa mushola bertahan paling lama. Bunyi-bunyian khas "sahuurr" yang melengking tetap eksis. Sedangkan suara drumband semakin jarang terdengar. Mungkin karena para pemainnya yang sebagian besar anak-anak dan remaja lambat laun tumbuh menjadi dewasa sehingga tak bisa ikut main lagi pada Ramadan berikutnya.

Meski demikian, sebenarnya sudah lama sekali saya tak mendengar lengkingan suara "sahuurr" dari toa mushola atau masjid. Sebab semenjak hijrah ke Yogyakarta, toa masjid di tempat saya tinggal selalu senyap setiap waktu sahur. Masjid At Taqwa itu hanya berjarak 3 rumah dari tempat saya tinggal. Sehingga suara toa sekecil apapun biasanya akan sampai ke telinga.

Agak unik memang masjid besar yang hanya berjarak 200 meter di utara kampus UGM dan berada di tengah-tengah hunian para mahasiswa ini tak menghidupkan toa untuk membangunkan orang sahur. Padahal kegiatan keagamaan di masjid ini terbilang aktif pada siang hingga malam hari.

Sebelum pandemi Covid-19, masjid ini ramai sejak sore hingga malam hari pada bulan Ramadan. Buka bersama selalu diadakan setiap hari. Takjil dan hidangan berbuka disediakan gratis. Seusai tarawih suasana tak langsung sepi. Orang-orang bertadarus.

Namun, hal yang kontras dijumpai saat sahur. Masjid ini seolah mempunyai tradisi yang berbeda, yakni tradisi mematikan toa.

Bertahun-tahun tinggal di dekatnya, tak pernah saya terbangun sahur karena mendengar suara toa dari masjid ini. Bukan karena tak ada pengurus atau takmir yang bersiaga. Sebab beberapa pengurus masjid tinggal di kamar-kamar yang disediakan di sisi utara dan selatan masjid. Jadi selama 24 jam ada pengurus yang menjaga masjid.

Pilihan untuk tidak membangunkan sahur lewat toa masjid rupanya dilatarbelakangi oleh pertimbangan sosial. Meski banyak rumah kos, tapi kompleks saya tinggal juga dihuni oleh sejumlah keluarga purnawirawan TNI yang sudah berusia lanjut. Di sekitar masjid terdapat rumah-rumah yang keluarganya masih merawat orang tua. Pemandangan pada simbah yang berjemur pagi, berjalan dengan tongkat, atau berada di atas kursi roda, lazim dijumpai di kompleks kami. Bahkan, pada akhir pekan di utara masjid sering digelar senam lansia untuk memfasilitas kebutuhan olahraga para warga berusia lanjut.

Banyaknya rumah kos dan pendatang di kompleks kami dengan sendirinya membuat warganya sangat beragam. Selain banyak warga lansia, tidak sedikit pula penghuni kos yang beragama lain. Bahkan, rumah di depan tempat tinggal saya yang juga sangat dekat dengan masjid, sering menjadi tempat kegiatan ibadah tetangga yang beragam Kristen. Sudah biasa bagi kami pada akhir pekan mendengar lagu-lagu rohani dan iringan piano dari rumah tersebut.

Semua faktor di atas, terutama banyaknya lansia dan warga yang berbeda keyakinannya, membuat pengurus masjid tidak menggunakan toa untuk membangunkan orang sahur saat Ramadan. Alasannya sangat masuk akal karena suara pada pukul 2 atau 3 dinihari bisa membuat tidak nyaman bagi sebagian warga.

Sementara teknologi sudah sangat maju. Orang yang hendak bangun sahur bisa memanfaatkan alarm HP. Di rumah-rumah kos kepedulian antar teman satu pondokan mendorong untuk saling mengetuk pintu kamar menjelang sahur. Artinya, ada hikmah dari matinya toa masjid saat sahur. Yakni membuat para penghuni kos menemukan kembali kekompakannya satu sama lain dengan saling membangunkan.

Bisa dikatakan toa di masjid kompleks tempat tinggal kami hadir dengan fungsi sosialnya yang lebih kontekstual sesuai kebutuhan warganya. Tidak ada egoisme pelantang suara.

Toa itu dimatikan saat waktu sahur, lalu bergema lagi saat adzan. Dan akan selalu terdengar saat ada warga yang meninggal dunia, ada jadwal SIM keliling, ada penyemprotan disinfektan dan dibukanya pengumpulan zakat fitrah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun