Agak unik memang masjid besar yang hanya berjarak 200 meter di utara kampus UGM dan berada di tengah-tengah hunian para mahasiswa ini tak menghidupkan toa untuk membangunkan orang sahur. Padahal kegiatan keagamaan di masjid ini terbilang aktif pada siang hingga malam hari.
Sebelum pandemi Covid-19, masjid ini ramai sejak sore hingga malam hari pada bulan Ramadan. Buka bersama selalu diadakan setiap hari. Takjil dan hidangan berbuka disediakan gratis. Seusai tarawih suasana tak langsung sepi. Orang-orang bertadarus.
Namun, hal yang kontras dijumpai saat sahur. Masjid ini seolah mempunyai tradisi yang berbeda, yakni tradisi mematikan toa.
Bertahun-tahun tinggal di dekatnya, tak pernah saya terbangun sahur karena mendengar suara toa dari masjid ini. Bukan karena tak ada pengurus atau takmir yang bersiaga. Sebab beberapa pengurus masjid tinggal di kamar-kamar yang disediakan di sisi utara dan selatan masjid. Jadi selama 24 jam ada pengurus yang menjaga masjid.
Pilihan untuk tidak membangunkan sahur lewat toa masjid rupanya dilatarbelakangi oleh pertimbangan sosial. Meski banyak rumah kos, tapi kompleks saya tinggal juga dihuni oleh sejumlah keluarga purnawirawan TNI yang sudah berusia lanjut. Di sekitar masjid terdapat rumah-rumah yang keluarganya masih merawat orang tua. Pemandangan pada simbah yang berjemur pagi, berjalan dengan tongkat, atau berada di atas kursi roda, lazim dijumpai di kompleks kami. Bahkan, pada akhir pekan di utara masjid sering digelar senam lansia untuk memfasilitas kebutuhan olahraga para warga berusia lanjut.
Banyaknya rumah kos dan pendatang di kompleks kami dengan sendirinya membuat warganya sangat beragam. Selain banyak warga lansia, tidak sedikit pula penghuni kos yang beragama lain. Bahkan, rumah di depan tempat tinggal saya yang juga sangat dekat dengan masjid, sering menjadi tempat kegiatan ibadah tetangga yang beragam Kristen. Sudah biasa bagi kami pada akhir pekan mendengar lagu-lagu rohani dan iringan piano dari rumah tersebut.
Semua faktor di atas, terutama banyaknya lansia dan warga yang berbeda keyakinannya, membuat pengurus masjid tidak menggunakan toa untuk membangunkan orang sahur saat Ramadan. Alasannya sangat masuk akal karena suara pada pukul 2 atau 3 dinihari bisa membuat tidak nyaman bagi sebagian warga.
Sementara teknologi sudah sangat maju. Orang yang hendak bangun sahur bisa memanfaatkan alarm HP. Di rumah-rumah kos kepedulian antar teman satu pondokan mendorong untuk saling mengetuk pintu kamar menjelang sahur. Artinya, ada hikmah dari matinya toa masjid saat sahur. Yakni membuat para penghuni kos menemukan kembali kekompakannya satu sama lain dengan saling membangunkan.
Bisa dikatakan toa di masjid kompleks tempat tinggal kami hadir dengan fungsi sosialnya yang lebih kontekstual sesuai kebutuhan warganya. Tidak ada egoisme pelantang suara.
Toa itu dimatikan saat waktu sahur, lalu bergema lagi saat adzan. Dan akan selalu terdengar saat ada warga yang meninggal dunia, ada jadwal SIM keliling, ada penyemprotan disinfektan dan dibukanya pengumpulan zakat fitrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H