"Bapak-bapak, ibu-ibu, monggo dhahar sahur...wekdal imsak tigang ndoso menit malih..sahurrrr...sahurrrr..."
Begitulah orang Jawa membangunkan sesamanya untuk makan sahur saat bulan Ramadan di kampung saya. Kalau dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih, "Bapak-bapak, ibu-ibu, silakan makan sahur...waktu imsak 30 menit lagi..sahurrr...sahurrr".
Suara itu merambat dari toa mushola yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah. Sejak kecil telinga ini hafal dengan suaranya. Sebab orang di balik toa mushola kampung biasanya itu-itu saja, yakni pengurus mushola.
Melalui toa dan suara khas pengurus mushola tradisi membangunkan orang sahur di kampung bertahan selama bertahun-tahun. Dilandasi niat baik agar warga kampung tak terlambat bangun, pengurus mushola rela bangun lebih awal di saat kebanyakan warga masih terlelap.
Secara berkala, biasanya dimulai sejak satu jam sebelum imsak, suara mereka menjadi alarm tanda sahur. Berulang-ulang mereka membangunkan para tetangga. Demi memastikan semua orang telah bangun, mendekati waktu imsak suara mereka akan lebih dikeraskan. Bunyi-bunyian "sahurrr..." menjadi lebih panjang terdengar ujung vokalnya.
Membangunan lewat toa mushola dan masjid bukan satu-satunya tradisi jelang sahur di kampung saya dulu. Selagi toa mushola tetap siaga, suara-suara lain yang tak kalah kencang ikut terdengar. Botol, ember, gayung, dan kentongan ditabuh bersamaan. Diarak berkeliling kampung oleh sejumlah anak dan remaja yang tak merasa khawatir terserang paru-paru basah.
Dulu rombongan "drumband sahur" itu pasti lewat di depan rumah. Saya akui kadang irama yang dimainkan cukup asyik. Bunyi-bunyiannya rancak  seolah mengikuti ketukan tertentu. Namun, tak jarang pula yang sampai di telinga hanya suara kerasnya saja.
Dari jauh saja sudah terdengar keras bunyinya. Apalagi saat melintas di depan rumah. Saya suka mengintip aksi rombongan drumband ini dari balik gorden jendela ruang tamu. Beberapa di antara mereka merupakan teman sepermainan. Saya sebenarnya ingin sesekali ikut drumband sahur. Dulu beberapa kali saya meminta izin kepada orang tua untuk ikut berkeliling kampung. Sayangnya izin tak pernah saya dapatkan.
Dari dua tradisi membangunan orang sahur di atas, suara toa mushola bertahan paling lama. Bunyi-bunyian khas "sahuurr" yang melengking tetap eksis. Sedangkan suara drumband semakin jarang terdengar. Mungkin karena para pemainnya yang sebagian besar anak-anak dan remaja lambat laun tumbuh menjadi dewasa sehingga tak bisa ikut main lagi pada Ramadan berikutnya.
Meski demikian, sebenarnya sudah lama sekali saya tak mendengar lengkingan suara "sahuurr" dari toa mushola atau masjid. Sebab semenjak hijrah ke Yogyakarta, toa masjid di tempat saya tinggal selalu senyap setiap waktu sahur. Masjid At Taqwa itu hanya berjarak 3 rumah dari tempat saya tinggal. Sehingga suara toa sekecil apapun biasanya akan sampai ke telinga.