Tradisi membuat Kicak hanya saat Ramadan yang diawali oleh Mbah Wono dipertahankan hingga kini. Selain bulan Ramadan, sulit atau bahkan tidak akan kita temui Kicak di para penjual jajan pasar. Bentuk kearifan seperti ini membuat Kicak semakin istimewa dan khas karena untuk bisa menikmatinya kita harus menunggu setahun, yakni saat bulan puasa berikutnya tiba.
Itulah sebabnya setiap kali berkunjung ke Pasar Ramadan Kauman saya selalu memilih Kicak sebagai takjil. Banyak penjual di Pasar Ramadan Kauman yang menjajakan kicak.
Ada yang sudah dikemas dalam wadah-wadah plastik ukuran kecil. Ada pula yang disajikan masih dalam ukuran besar dan baru dipotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil saat ada pembeli.
Tak ada aturan cara menikmati Kicak. Bisa ditemani dengan teh hangat, es teh atau sekadar air putih, rasanya tetap mudah membuat saya ketagihan.
Jika dinikmati dalam potongan kecil, Kicak cocok sebagai pembuka saat berbuka. Namun, jika keterusan menikmatinya hingga habis beberapa potong, perut bisa kenyang sampai setelah salat tarawih.
Sayangnya sudah tiga atau empat tahun terakhir saya tak lagi berkunjung ke Pasar Ramadan Kauman. Selama itu pula saya rindu mencecap Kicak.
Ramadan tahun ini terdengar kabar kalau Pasar Ramadan Kauman digelar lagi menyusul pelonggaran dan izin yang diberikan Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan tetapi kondisi pandemi Covid-19 yang belum membaik menahan langkah untuk ke sana.
Sebab sulit menghindari kerumunan di tempat seperti pasar ramadan. Tidak mungkin menjaga jarak di tengah lorong sempit di antara rumah-rumah yang berjejer rapat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H