Oleh karena itu, keberanian Menkes memaparkan kesalahan test dan tracing Covid-19 layak diapresiasi. Dengan demikian anggapan bahwa data dan laporan pandemi di Indonesia tidak akurat terbukti bukan sesuatu yang mengada-ngada.
Satgas Perlu Dievaluasi
Keterbukaan Menkes soal salah kaprah test dan tracing mengandung pesan penting bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi Satgas Covid-19 yang dimotori oleh BNPB dan di bawah Komite Pemulihan Ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian.
Secara tersirat Menkes sedang menyampaikan keinginannya agar Satgas Covid-19 diletakkan di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Ini cukup masuk akal sebab kementerian inilah yang memiliki kapasitas, sumber daya, perangkat dan pengalaman dalam penanganan wabah.
Kebijakan Jokowi menempatkan Satgas Covid-19 di bawah Komite Penanganan Ekonomi telah menghambat koordinasi. Antara BNPB dan Kementerian Kesehatan tak ada jalur koordinasi kelembagaan secara langsung.
Satgas Covid-19 yang berada di bawah komite pimpinan Menko Perekonomian membuat aspek kesehatan tak mendapatkan prioritas yang maksimal. Alih-alih mengakselerasi penanganan pandemi, Satgas Covid-19 justru terikat ruang geraknya karena pemerintah selalu menekankan ekonomi dan kesehatan harus beriringan. Padahal itu terbukti sulit dilakukan. Tidak mungkin memulihkan ekonomi jika masalah kesehatan belum tertangani.
Maka dari itu, dengan memaparkan fakta soal test dan tracing di Indonesia, Menkes sebenarnya menghendaki agar Presiden mengubah kebijakannya. Yakni melepaskan Satgas Covid-19 dari Komite Pemulihan Ekonomi atau memberikan kewenangan kepada Kementerian Kesehatan untuk memimpin Satgas Covid-19.
Realistis soal Vaksinasi
Tak hanya masalah test dan tracing Covid-19 yang diungkap oleh Menkes. Melainkan juga hambatan vaksinasi Covid-19 yang membuatnya "mules".
Menurut Menkes ada kesalahan perhitungan dalam distribusi vaksin Covid-19. Sejumlah vaksin yang dikirim ke beberapa provinsi terpaksa dikembalikan karena fasilitas rantai dingin di daerah tidak cukup. Setelah diusut, Menkes baru mengetahui bahwa fasilitas penyimpanan di beberapa provinsi sudah penuh untuk menyimpan vaksin-vaksin lainnya.
Masalah rantai dingin tersebut membuat Menkes pusing karena kalau di tingkat provinsi saja sudah terjadi kekurangan fasilitas, maka ia membayangkan masalah lebih pelik akan dijumpai di kabupaten, kota, hingga puskesmas.
"Ini baru kirim yang 1,2 juta, belum yang kirim 25 juta sebulah. Kenapa penuh? karena salah hitung (rantai dingin)", tegasnya.
Oleh karena itu, Menkes akan merancang ulang strategi vaksinasi Covid-19 yang disesuaikan dengan kapasitas setiap kota/kabupaten. Menkes lalu membandingkan vaksinasi di daerah-daerah di Jawa yang akan bisa dilakukan secara cepat, tapi tidak dengan di tempat-tempat lainnya, terutama kawasan timur Indonesia.