Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mendukung Polisi Memberi Pelajaran pada SJW-Provokator dan Demonstran Anarkis

9 Oktober 2020   13:25 Diperbarui: 9 Oktober 2020   13:34 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua video suasana demontrasi menolak UU Cipta Kerja di Malioboro diunggah oleh Polda DIY (@poldajogja)

"Hey...Provokator...Hey....Perusak....selamat engkau kini tertawa bahagia tapi INGATLAH KARMA".

Kalimat tersebut terdengar biasa jika disampaikan oleh masyarakat biasa. Tapi jadi sangat menarik dan mengusik jika yang menyampaikannya ialah aparat.

Adalah akun instagram @poldajogja yang menuliskannya sebagai caption dari video yang diunggah pada Kamis, 8 Oktober 2020, hari di mana demonstrasi anarkis pecah di Yogyakarta serta di sejumlah daerah lainnya.

Video itu memperlihatkan mobil ambulan yang rusak dihancurkan oleh massa demonstran di Malioboro. Tampak pula sejumlah polisi sedang beristirahat, tapi tetap waspada berjaga.

Dua video suasana demontrasi menolak UU Cipta Kerja di Malioboro diunggah oleh Polda DIY (@poldajogja)
Dua video suasana demontrasi menolak UU Cipta Kerja di Malioboro diunggah oleh Polda DIY (@poldajogja)
Tak hanya satu video yang diunggah oleh @poldajogja. Video lainnya bahkan memperlihatkan dampak kerusuhan yang tak kalah parah. Dalam video terlihat sebuah bangunan bertingkat di Malioboro yang terbakar. Sejumlah polisi dan masyarakat bahu-membahu memadamkan api yang membesar. Sementara yang lainnya mencoba memindahkan beberapa barang yang bisa diselamatkan dari kobaran api.

Video itu disertai caption yang tidak terlalu panjang. Namun, sangat lugas dan jelas penekanannya. "Demontrasi silahkan tapi Jangan IKAH HIU MAKAN TOMAT!!!". Begitu penggalan caption yang disertakan oleh @poldajogja.
***

Caption yang singkat, penggunaan huruf kapital, serta kata-kata ungkapan "Karma" dan "Ikan Hiu Makan Tomat" jelas sekali menggambarkan suasana batin polisi yang mengawal demontrasi Omnibus Law kemarin. Semua itu juga mewakili posisi dan perasaan aparat setiap kali menghadapi demonstrasi anarkis.

Kita bisa meraba kecamuk dan kesabaran yang ditahan dalam ketikan caption 'KARMA" dan "IKAN HIU MAKAN TOMAT!!. Jelas terasa adanya luapan perasaan dalam penulisan kata-kata tersebut.

Aparat, terutama polisi memang menghadapi situasi yang sama sekali tidak mudah setiap kali menghadapi massa demonstran. Dalam tanggung jawabnya yang secara penuh diarahkan untuk memastikan ketertiban dan keamanan, aparat harus bisa mencegah aksi anarkis.

Polisi juga dituntut untuk tak gegabah meladeni massa yang anarkis. Pendekatan represif hanya cara terakhir dalam keterpaksaan manakala perbuatan anarkis sudah semakin menjurus ke arah aksi yang mengancam keselamatan secara luas.

Dilema hampir sulit dielakkan. Sebab polisi harus bisa bersikap sabar di hadapan massa yang bar-bar. Dilema aparat yang dituntut untuk terus humanis, sementara di depannya berlangsung aksi anarkis.

Tuntutan semacam itu bisa dipahami dan diterima sebagai bentuk profesionalitas. Namun di lapangan tentu menjadi tidak sederhana.

Oleh karena itu, kita seringkali menangkap kesan polisi kurang sigap mencegah meluasnya kerusuhan, polisi lembek menghalau perusuh, polisi gagal mencegah pembakaran dan perusakan fasilitas umum, dan seterusnya. Semua itu bisa menggambarkan bagaimana dilematisnya aparat yang dituntut tetap humanis dan sabar.

Apalagi, aparat sekarang tidak hanya menghadapi aksi massa di jalanan yang digelar oleh demontran. Tapi juga harus menghadapi aksi para SJW di jagat maya.

Tentu tidak semua Social Justice Warrior alias pejuang keadilan sosial berperilaku buruk. Bahkan SJW sendiri kalau mengikuti arti katanya secara harafiah merupakan penggerak kebenaran.

Namun, tidak sulit pula menjumpai rupa-rupa para SJW. Di antara mereka memiliki tindak-tanduk yang tak jauh beda dengan provokator di media sosial.

Para SJW-Provokator membuat definisi demokrasi dan keadilan sosial versi mereka yang tidak hanya absurd, tapi juga buruk. Bagi mereka keadilan ialah ketika negara dan aparat membebaskan penyampaian pendapat bisa dilakukan kapan saja dan dengan cara apa saja. Bagi SJW-Provokator demokrasi bisa ditempuh dengan banyak cara sehingga demontrasi anarkis pun bisa ditoleransi.

Memanfaatkan pengaruh dan jaringannya yang luas, terutama di media sosial, SJW-Provokator sering melontarkan propaganda menyesatkan dalam kemasan yang seolah-olah sebagai kebenaran. Misalnya, menganggap pembakaran dan perusakan fasilitas umum sebagai hal yang sepele karena pembakaran hutan dan perusakan hajat hidup masyarakat jauh lebih mengerikan.

Ujaran semacam itu sangat berbahaya. Selain membenarkan tindakan anarkis, propaganda tersebut juga mempromosikan aksi kekerasan.

Pada saat yang sama SJW-Provokator juga mengarahkan propaganda bahwa tindakan tegas oleh aparat kepolisian merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Di sinilah tampak bagaimana cacatnya demokrasi dan keadilan versi SJW-Provokator.

Jadi, SJW-Provokator tidak hanya memiliki standar ganda, tapi standar mereka sendiri amat buruk.

Di mata SJW-Provokator keadilan tidak boleh dihalangi oleh apapun, termasuk oleh  tindakan aparat. Oleh karena itu, tidak masalah demonstran merusak dan membakar karena itulah jalan mencari keadilan.

Aparat tidak boleh memukul apalagi menangkap para demonstran yang merusak. Kepada mereka polisi cukup menasihatinya saja. Begitulah keadilan dan demokrasi ideal idaman para SJW-Provokator.

Halte MRT terbakar akibat demonstrasi anarkis pada Kamis, 8/10/2020 (kompas.com/Garry Lotulung).
Halte MRT terbakar akibat demonstrasi anarkis pada Kamis, 8/10/2020 (kompas.com/Garry Lotulung).
Diakui atau tidak, riuhnya ujaran para SJW-Provokator setiap kali ada peristiwa besar yang melibatkan aksi massa telah memberi tekanan kepada aparat. Dalam beberapa momen kita jumpai polisi menjadi gentar dan kurang tegas. Ambil contoh ketika aksi demontrasi besar-besaran di Jakarta beberapa waktu lalu di mana sejumlah ambulan diketahui membawa batu dan menyembunyikan demonstran.

Beberapa oknum berhasil ditangkap oleh aparat. Namun, tekanan dari media sosial yang gencar yang dikapitalisasi oleh sejumlah SJW membuat aparat akhirnya membebaskan oknum-oknum tersebut tanpa adanya tindakan hukum lebih jauh.

Oleh karena itu, dukungan perlu diberikan kepada aparat kepolisian. Pertama, agar polisi tidak ragu dalam menghadapi aksi-aksi anarkis yang mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat. Kedua, agar masyarakat tidak keterusan menganggap wajar tindakan-tindakan perusakan, pembakaran, dan kekerasan yang dilakukan atas nama kebebasan berpendapat. Dan ketiga, agar para SJW-Provokator tak semakin leluasa menyandera demokrasi dan keadilan sosial dalam ruangan pengap yang mereka ciptakan.

Seperti caption yang ditulis oleh @poldajogja tentang provokator dan perusak yang sedang tertawa, para SJW-Provokator mungkin termasuk dari mereka yang menghendaki negeri ini rusak dan tumbang. Mereka merasa hambar jika tak ada api yang membara dan kaca-kaca yang pecah. Duduk di sofa empuk dengan menghirup aroma kopi terbaik, mereka menikmati arus demonstrasi sambil menyuntikkan kata-kata penyemangat dan pujian kepada para demonstran anarkis.

Maka sudah sewajarnya dan semestinya aparat bertindak lebih tegas lagi kepada keduanya, baik para SJW-Provokator maupun demonstran anarkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun