Realitas-realitas di atas membuat kepala saya dijejali banyak pertanyaan yang sulit terjawab. Apa sulitnya menggunakan masker? Adakah kerugian besar yang ditanggung seseorang dengan menutup mulut dan hidungnya demi keselamatan bersama? Begitu beratkah beban untuk mencantolkan tali masker ke telinga sampai membuat orang berulang kali lupa dan memilih meninggalkan masker mereka di rumah? Bagaimana pula sebenarnya masyarakat kita memandang masker di tengah pandemi Covid-19?
Enam bulan lamanya gelontoran kalimat himbauan dan anjuran untuk menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan bertebaran di tengah masyarakat. Rasanya tak mungkin jika itu tak terserap ke dalam benak masyarakat.
Semestinya hari ini tak ada lagi alasan untuk tak menggunakan masker. Dulu saat masker bedah langka dan harganya melonjak gila-gilaan, orang wajar menjadikannya sebagai alasan untuk sulit menggunakan masker. Begitupula pada masa awal sosialisasi penggunakan masker kain sebagai pengganti masker bedah, tidak semua orang langsung bisa mendapatkannya.
Sekarang saat masker bedah sudah mudah didapatkan dengan harga terjangkau, masker kain gampang diperoleh, dan pembagian masker gratis banyak dilakukan oleh sejumlah pihak, alasan apalagi yang membuat orang enggan untuk menggunakan masker?
Tampaknya "kultur keselamatan" yang belum terbangun secara benar menjadi sebab banyak masyarakat abai dengan penggunaan masker. Dengan kata lain masalah utamanya bukan ada atau tidak masker serta mahal atau murahnya harga masker. Melainkan pada sikap dan mental masyarakat yang kultur keselamatannya bersifat reaktif.
Artinya orang baru akan memikirkan keselamatannya jika sudah merasakan atau melihat sendiri adanya ancaman di depan mata. Representasinya ialah kecenderungan masyarakat yang baru peduli kesehatannya jika sudah mulai merasakan sakit.
Kultur keselamatan yang hanya bersifat reaktif membuat masyarakat kurang menganggap penting makna pencegahan. Tindakan mencegah dianggap merepotkan karena seringkali harus membuat orang melakukan sesuatu di luar kebiasaan, pengalaman, dan keyakinannya.
Ini terasa dalam konteks masker. Bagi banyak orang masker adalah hal yang sangat baru. Belum ada pengalaman hidup mereka yang memberitahu bahwa masker bisa menyelamatkan nyawa.
Pengalaman hidup sangat penting karena menjadi sumber dorongan internal. Jika dorongan internalnya kuat, kesadaran untuk menggunakan masker akan mudah terbentuk karena motivasinya berasal dari dalam diri sendiri.
Kini orang-orang yang selama hidupnya tak pernah menjadikan masker sebagai bagian dari kebiasaan tiba-tiba diharuskan untuk menggunakannya. Banyak orang kemudian menggunakan masker hanya karena ingin terlihat patuh pada aturan. Itu pun jika aturannya ditegakkan.