Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dulu Liputan Mudik, Sekarang Liputan #JanganMudikDulu

21 Mei 2020   11:34 Diperbarui: 21 Mei 2020   11:36 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liputan mudik kompas tv (sumber: youtube kompastv).

"Jalan-jalan mudik lebaran. Bersama-sama keluarga. Jaga diri di perjalanan agar selamat dan bahagia...Pergi silaturahmi untuk kembali. Selamat mudik lebaran..."

Mendekati Idulfitri biasanya saya jadi lebih suka menonton TV. Alasannya demi bisa mengikuti liputan mudik yang ditayangkan oleh hampir semua stasiun TV mulai H-7 sampai H+7 lebaran. Malah ada stasiun TV yang sudah meliput arus mudik sejak H-10.

Menurut saya liputan mudik sudah menjadi satu paket dari tradisi mudik. Bahkan, pernah ada yang mengatakan kalau di Indonesia sebenarnya telah berkembang cabang jurnalisme baru, yakni jurnalisme mudik.

Hal itu menggambarkan betapa liputan mudik mendapat ruang istimewa baik di stasiun TV  itu sendiri maupun di benak masyarakat. Pola-pola liputan dan pemberitaan seputar mudik seolah dilakukan dengan standar tertentu yang berbeda dengan pemberitaan umum.

Salah satu bukti bahwa liputan mudik sangat istimewa ialah program acaranya yang dibuat secara khusus. Selama musim mudik stasiun-stasiun TV menayangkan liputan mudik setiap jam atau secara berkala selama 24 jam. Ada yang disisipkan di program berita reguler. Tapi lebih banyak yang dikemas dalam program spesial pantauan arus mudik. Begitu spesialnya sampai ada seremoni khusus untuk melepas tim liputan mudik.

Gencarnya liputan mudik akhirnya membuat saya menyenangi tontonan ini. Entah sejak kapan hal itu saya alami. Yang jelas liputan mudik selalu saya tunggu setiap menjelang dan seusai lebaran.

Selain hal di atas ada sejumlah daya tarik lain dari liputan-liputan mudik di TV. Pertama, liputan mudik berhasil memperlihatkan istimewanya pekerjaan jurnalis. Saya selalu kagum melihat jurnalis-jurnalis melaporkan langsung situasi arus mudik dari pinggir jalan tol, persimpangan jalan, pelabuhan, terminal, stasiun, atau bandara.

Seringkali dari pagi hingga malam jurnalisnya tidak berganti. Kadang dini hari wajah yang sama muncul lagi. Itu berarti mereka sepanjang hari di lapangan. Mandi dan tidur mungkin menumpang di pos mudik, rumah warga, atau di mobil.

Dedikasi tersebut dilakukan paling tidak dua pekan lamanya. Dari hal itu anak kecil sampai orang dewasa bisa menangkap kesan keren dari jurnalis-jurnalis liputan mudik.

Liputan mudik kompas tv (sumber: youtube kompastv).
Liputan mudik kompas tv (sumber: youtube kompastv).
Kedua, liputan mudik telah melekatkan citra dan kesan yang kuat tentang tempat-tempat atau istilah yang sebenarnya bagi banyak orang tak memiliki relasi secara langsung. Saya ambil contoh, lewat laporan-laporan jurnalis di jalur mudik saya jadi hafal yang namanya Cikampek, Simpang Jomin, Nagrek, Simpang Pejagan, Pasar Senen, Bakauheni, dan sebagainya. Sebagian dari nama-nama tersebut bisa dikatakan sangat legendaris dalam lingkup mudik lebaran.

Nama-nama di atas juga secara ajaib melekat di benak saya  sampai detik ini. Berulang kali saya membayangkan mudik melalui tempat -tempat itu. Padahal sebagian di antaranya belum pernah saya singgahi, terutama sewaktu masih kecil.


Ketiga, lewat liputan mudik kita jadi tahu beragam cerita perjalanan mudik masyarakat Indoensia. Mulai dari cerita yang biasa, sampai yang luar biasa. Mulai dari suka sampai dukanya. Termasuk cerita-cerita menarik dan unik dari tempat-tempat sepanjang jalur mudik.

Keempat, biasanya pada H+7 lebaran, liputan mudik akan diakhiri dengan tayangan behind the scene. Bagaimana persiapan tim liputan diperlihatkan lewat video-video yang seringkali lucu. Misalnya, jurnalis yang tiba-tiba "ngeblank" hingga suara klakson kendaraan yang bikin kaget sang jurnalis.

Kelima, saya selalu tertarik memperhatikan atribut-atribut liputan mudik . Mulai dari seragam para jurnalis yang ditempeli logo stasiun TV dan sponsor, sampai kendaraan mereka gunakan untuk liputan.

Kita biasanya tidak suka iklan menginterupsi acara TV. Namun, dalam liputan mudik iklan-iklan yang melekat justru menarik dan memberi warna tersendiri. Ada yang disponsori minuman energi, minuman herbal, kopi, mie instan, sampai perusahaan otomotif produsen sepeda motor dan mobil.

Seringkali dalam liputan mudik juga ada kuis yang melibatkan sang jurnalis sebagai penanya dan pemudik sebegai peserta. Momen ini menambah warna liputan mudik.

Belakangan atribut liputan mudik diperkaya lagi lewat lagu yang dibuat khusus oleh stasiun TV untuk memperkuat citra liputan mereka. Lagu berjudul "Selamat Mudik Lebaran!" dari NET TV yang liriknya saya sertakan di awal tulisan ini merupakan theme song mudik yang sangat asyik dan menarik. Apalagi ada beberapa versi aransemennya.


Saya segera menyenangi lagunya saat pertama kali mendengar dan melihat videonya. Lagu itu semakin membuat orang tak sabar ingin mudik dan berkumpul bersama keluarga.

Namun, tak ada mudik dan tak ada pula liputan mudik pada lebaran tahun ini. Tayangan liputan khusus dari jalur mudik menghilang dari layar sebagian besar TV. Kalau pun ada sifatnya hanya pelengkap program berita reguler. Namanya pun berganti. Dari "Liputan Mudik " menjadi "Liputan Jangan Mudik Dulu", "Liputan Dilarang Mudik", dan semacamnya.

Istilah-istilah tersebut tentu sangat bertolak belakang. "Liputan Mudik" menghamparkan suka cita. Sementara "Liputan Jangan Mudik Dulu" menorehkan perasaan nestapa karena kita hanya bisa menontonnya, tapi dilarang mudik.

Apa boleh buat itu harus kita terima. Pandemi Covid-19 mengharuskan kita lebih banyak berkorban demi keselamatan bersama. Jangan mudik dulu merupakan bentuk tanggung jawab yang perlu kita penuhi dengan sabar dan ikhlas. Memang berat meninggalkan tradisi mudik bukan karena kita tidak ingin, tapi karena tidak boleh.

Liputan mudik Kompas TV (sumber: youtube kompastv).
Liputan mudik Kompas TV (sumber: youtube kompastv).

Sebuah paradigma atau cara penerimaan yang baru perlu kita miliki. Mudik memang smemberi kebahagiaan dan kelegaan. Tapi tidak mudik bukan berarti kita kehilangan kebahagiaan. Justru dengan tidak mudik saat pandemi kita sedang mengumpulkan keping-keping kebahagiaan yang lebih hakiki untuk keluarga kita di kampung halaman. Dengan tidak mudik kita telah mengupayakan kesehatan bagi diri sendiri serta orang-orang tercinta.

Tidak mudik memang menjauhkan kita secara fisik untuk sementara. Tapi dari jauh kita sebenarnya sedang melindungi orang-orang yang kita cintai.


Oleh karena itu, ungkapan "Jangan Mudik Dulu" tidak harus dimaknai sebagai larangan. Melainkan sebagai alih wahana tentang bagaimana  kita mencintai, menjaga, dan melindungi orang-orang tercinta dengan cara yang berbeda.

Sama halnya dengan "Liputan Jangan Mudik Dulu" yang menggusur "Liputan Mudik" bukan berarti meneguhkan kondisi yang serba tidak mengenakkan. Melainkan membawa pesan bahwa sebentar saja kita tak menghampiri kampung halaman. Namun, sesungguhnya kita sedang bergerak mempersembahkan keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan yang lebih besar untuk semua.

Selamat lebaran. Semoga keselamatan senantiasa menaungi kita bersama. Mohon maaf lahir dan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun