Apalagi, ia menjual hasil panennya melalui pengepul sehingga keuntungannya tak maksimal karena harga secara umum ditentukan oleh pengepul. "Petani di sini hanya untung 500-1000 rupiah perkilonya", katanya menekankan.
Bukan hanya keuntungan yang rendah, pembayaran dari pengepul pun sering terlambat diterimanya. Kadang pengepul langsung membawa hasil panennya ke pasar tanpa memberi kepastian kapan pembayaran akan dilakukan.
Gara-gara Corona
Tak ingin selalu bergantung pada pengepul, Abdul kemudian mencoba membawa hasil kebunnya langsung ke pasar terdekat. Penjualan hasil kebun dilakukannya di pinggir jalan karena ia tak punya kios di pasar.
Cara ini telah dianggapnya lebih baik hingga kemudian datang gelombang wabah Corona. Pasar yang menjadi harapannya tutup seketika. Belakangan pasar kembali dibuka, tapi aktivitas jual beli dibatasi dan orang-orang seperti dirinya yang tak punya kios tetap tak bisa leluasa datang ke pasar.
Beruntung Abdul memiliki bekal pengetahuan teknologi informasi. Ia mencoba hal baru dengan berjualan secara daring. Sebuah toko daring dibukanya di sebuah marketplace daring.
Hasilnya pun cukup lumayan. Abdul mengaku untuk pertama kalinya ia bisa menikmati harga yang lebih baik setelah berjualan daring. Meski keuntungannya tak terlalu besar, tapi masih lebih baik dibanding yang didapatnya dari pengepul.
Harapan dari Jahe Merah
Dari semua yang ditanamnya jahe merah menjadi yang paling dicari pembeli. "Rata-rata sehari (laku) 10 kg", terangnya. Padahal sebelumnya jahe merah tak terlalu dilirik orang. Menurut Abdul dulu orang hanya membeli jahe dalam jumlah sedikit untuk pelengkap bumbu.
Oleh karena itu ia sempat kaget ketika mendapat banyak pesanan jahe merah. Bahkan, pada hari saat kami berkomunikasi, Abdul mengaku baru mengirim 12 paket pesanan jahe merah ke Purwokerto, Semarang, dan Jakarta.