Kita dipaksa lebih rajin mencuci tangan dan dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan "aneh" seperti menutup mulut dengan siku ketika batuk atau bersin.
Pembiasaan tidak selalu bertujuan untuk membentuk perilaku yang sepenuhnya baru. Seperti disebutkan di awal, ajaran mencuci tangan pada dasarnya sudah kita terima sejak kecil, tapi gagal mengalami internalisasi.Â
Demikian pula menutup mulut saat batuk dan bersin juga bagian tatakrama yang bagi orang Indonesia bukan produk baru. Namun, benih perilaku-perilaku yang telah berkecambah itu sama-sama tidak selesai tumbuh.
Maka penerapan aturan-aturan selama masa darurat kesehatan pandemi Covid-19 sebenarnya merupakan pembiasaan ulang atau latihan ulang yang perlu dibiasakan. Harapannya kita akan akan memiliki perilaku yang lebih konsisten berupa kebiasaan menutup mulut saat bersih atau batuk. Harapannya terjadi pembaruan budaya cuci tangan yang selama ini masih setengah-setengah kita lakukan.
Jalur pembelajaran berikutnya ialah pengondisian karena pembiasaan saja belum cukup. Berbagai protokol dan aturan yang seolah-olah membatasi keleluasaan kita selama pandemi Covid-19 disertai banyak pengondisian.
Kita mungkin tidak menyadarinya. Namun, keharusan jaga jarak, mengantre saat berbelanja, pemeriksaan suhu tubuh, dan kewajiban memakai masker merupakan contoh pengondisian yang sengaja diciptakan untuk memproduksi perilaku kolektif.Â
Waktu belanja yang dibatasi dan dilakukan secara bergiliran juga bentuk pengondisian. Tujuannya untuk menghindari kerumunan serta mencegah pembelian secara berlebihan.Â
Ini agar masyarakat yang belum mendapatkan atau masih mengantre di luar masih kebagian bahan kebutuhan. Nilai utamanya ialah bagaimana kita menghargai kebutuhan orang lain di saat sama-sama membutuhkan.
Pengondisian pandemi Covid-19 juga menekankan dorongan-dorongan positif. Kewajiban jaga jarak dan menggunakan masker, misalnya, memiliki dorongan positif bahwa hal itu bisa melindungi kita dari paparan virus, menyelamatkan nyawa orang lain dan menolong bangsa untuk lepas dari wabah. Pengondisian tersebut pada dasarnya hendak memajukan kesadaran kita menjadi lebih beradab dengan mampu menghargai hidup sesama.
Lalu apakah pembiasan dan pengondisian yang sedang kita jalani sekarang sampai berapa bulan ke depan bisa merintis pembaruan budaya kita menjadi lebih beradab? Apakah nantinya kita bisa mewarisi budaya tertib antre yang lestari meski tanpa ancaman corona? Mungkinkah perilaku-perilaku positif yang serba terpaksa saat ini kelak menjadi perilaku normal layaknya kebiasaan?