Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Maju-Mundur" Presiden Jokowi yang Membingungkan Soal Mudik Bisa Membuat Corona "Nyaman" di Indonesia

3 April 2020   19:01 Diperbarui: 3 April 2020   19:09 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus antar kota antar provinsi, salah satu moda transportasi yang banyak digunakan pemudik (dok. pri).

Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan di masa darurat kesehatan Covid-19. Tidak tegas melarang mudik, tapi masyarakat dihimbau untuk tidak pulang kampung. Langkah maju-mundur yang membuat Corona bisa "nyaman" di Indonesia. 

Ini bukan pertama kali masyarakat disuguhi narasi yang membingungkan dan tidak penting. Sebelumnya untuk beberapa waktu lama, diskursus publik dilingkupi oleh perdebatan antara lockdown atau tidak lockdown, lalu lockdown vs karantina wilayah.  

Hal tersebut terbukti kurang bermakna karena ternyata pemerintah menyodorkan Darurat Sipil. Namun, berselang dua hari presiden seakan-akan menganulirnya lewat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Berbagai diskursus di atas telah membuang banyak waktu dan energi positif yang sebenarnya bisa diarahkan lebih dini untuk menyatukan kekuatan guna memerangi Corona. Bahkan, sampai PSBB diputuskan kita masih belum paham sepenuhnya seperti apa langkah pasti pemerintah dan bagaimana masyarakat perlu mengikutinya.

Bahkan, aturan PSBB belum disusun secara detail. Presiden baru memerintahkan Kementerian Kesehatan serta lembaga terkait lainnya untuk segera merumuskan aturan PSBB dalam bentuk keputusan menteri. Artinya masih butuh harmonisasi agar PSBB bisa diturunkan sehingga bisa dilaksanakan oleh daerah.

Di tengah kerumitan  serta tantangan sosialisasi dan implementasi PSBB yang belum jelas benar, kita disuguhi kebingungan baru. Kamis, 2 April 2020, para pejabat istana terlibat saling ralat. 

Juru bicara presiden menyatakan pemerintah pusat tidak melarang mudik. Setiap orang yang mudik wajib menjalani karantina atau isolasi mandiri selama 14 hari di kampung halaman. Langkah yang mengundang banyak kritik itu dalam hitungan jam kemudian membuat Mensesneg turun tangan dan meluruskan informasi sang jubir yang melenceng. Kebenarannya ialah pemerintah akan melakukan upaya maksimal untuk mengimbau masyarakat agar tidak mudik. Ini ditegaskan lagi oleh Menteri Luhut. Jadi, hanya untuk memperjelas status mudik masyarakat harus menelan informasi dari tiga pejabat di lingkaran terdekat Presiden Jokowi.

Kemacetan arus mudik dengan kendaraan pribadi (dok. pri).
Kemacetan arus mudik dengan kendaraan pribadi (dok. pri).
Sesungguhnya diralat atau tidak diralat, langkah pemerintah tentang mudik di tengah pandemi Covid-19 tetap sama. Baik narasi yang disampaikan oleh jubir presiden maupun ralat yang dinarasikan oleh Mensesneg, kesimpulannya ialah mudik tidak dilarang.

Kalau dikombinasikan narasi Mensesneg, Menteri Luhut dan jubir presiden itu kurang lebih menjadi: "Pemerintah berusaha keras menghimbau masyarakat untuk tidak mudik demi mencegah penyebaran Covid-19. Akan ada bantuan bagi mereka yang tidak pulang kampung halaman. Namun, jika pulang ke kampung halaman, pemudik wajib melakukan isolasi mandiri selama 14 hari".

Disodori pada himbauan yang tidak tegas semacam itu, besar kemungkinan masyarakat akan memilah pesannya. Kemudian memilih untuk berpedoman pada pesan yang meringankan saja, yakni "jika pulang kampung halaman wajib melakukan isolasi mandiri". Itu dianggap sebagai restu tidak langsung bahwa masyarakat boleh mudik.

Tidak Tegas
Pembatasan Sosial Berskala Besar memang terdengar luar biasa kata-katanya. Akan tetapi PSBB sebenarnya lebih lunak dibanding karantina wilayah maupun darurat sipil. Oleh karena lebih lunak, PSBB perlu disertai kebijakan pendukung yang lebih tegas agar semakin berdaya guna melawan penyebaran Covid-19.

Sayangnya, pemerintah terkesan maju-mundur dalam kebijakan mudik. Padahal, langkah maju-mundur membuat kita terlalu banyak berhenti. Sementara Corona semakin kencang berlari dan menyebar mendahului upaya kita.

Memang sulit untuk membedakan antara sikap penuh perhitungan dan kebimbangan. Namun, ambiguisitas tak bisa ditutupi. Pemerintah seperti kurang yakin dengan langkah yang diambil. Ambil contoh ketika presiden menginstruksikan pemerintah daerah melakukan percepatan penanganan Covid-19 yang terkait kesehatan dan dampak ekonomi. Pemerintah daerah didorong untuk menetapkan kondisi daruratnya masing-masing karena daerah yang paling paham kondisi lokal. Pada saat yang sama kewenangan itu ditahan oleh aturan yang melarang pemerintah daerah mengambil tindakan lebih jauh.

Langkah maju-mundur melahirkan kebijakan yang tidak tegas dan ketidaktegasan melahirkan ketidakjelasan. Pada situasi seperti inilah improvisasi sejumlah daerah yang menerapkan "local lockdown" dan inisiatif komunitas masyarakat untuk melakukan "karantina wilayah mandiri" bisa dipahami.

Tantangan Isolasi Mandiri di Desa
Himbauan kepada pemudik untuk mengkarantina diri selama 14 hari sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) setelah sampai di kampung halaman bisa diterima. Namun, ada hal penting yang sepertinya dilupakan pemerintah tentang bagaimana masyarakat desa hidup.

Tidak ada jaminan bahwa mereka yang telah tiba di kampung halaman bisa disiplin mengkarantina dirinya sendiri dengan penuh kesadaran. Tradisi dan karakter masyarakat desa yang sangat senang bergaul menyodorkan sederet masalah soal pembatasan interaksi dalam suasana lebaran. 

Naik dan turun pemudik di sembarang tempat perlu dicegah untuk membatasi penyebaran Covid-19 (dok. pri).
Naik dan turun pemudik di sembarang tempat perlu dicegah untuk membatasi penyebaran Covid-19 (dok. pri).

Kemudian tantangan menjalankan protokol karantina mandiri dengan benar. Rumah-rumah di kampung yang umumnya dihuni oleh keluarga besar tidak serta merta bisa disamakan dengan hunian yang memungkinkan ODP bisa tidur sendiri di kamar yang terpisah, mandi di kamar mandi terpisah, serta makan minum dengan alat yang berbeda. Oleh karena itu, karantina mandiri bagi para pemudik di kampung halaman tetap berisiko.

Ketidaktegasan dan ketidakjelasan kebijakan pemerintah soal mudik juga bisa memicu  ketegangan sosial terkait penerimaan pemudik di tempat tujuan. Seperti kita tahu beberapa daerah telah memperketat masuknya orang dari luar. Beberapa kampung memblokir gerbang masuk kampung disertai spanduk menolak orang dari luar daerah. Ini perlu dipikirkan juga karena bisa aterjadi kondisi di mana pemudik yang telah tiba di daerah tujuan atau kampung halaman, ternyata ditolak untuk masuk. Bagaimana memfasilitasi mereka? Di mana mereka akan ditampung dan mengkarantina dirinya?

Kementerian Desa telah mengeluarkan instruksi kepada setiap desa untuk menyiapkan tempat karantina atau isolasi mandiri. Akan tetapi membayangkan sebuah balai desa yang bisa disulap menjadi tempat karantina yang layak tidak akan sederhana.

Matangkan Skenario
Maju-mundur langkah pemerintah Jokowi mungkin juga membuat para pembantunya di lapangan mengalami kesulitan. Kementerian Perhubungan telah mengambil langkah tepat untuk membatalkan mudik gratis bersama. Akan tetapi dengan tidak adanya larangan yang tegas soal mudik, Kementerian Perhubungan dan aparat daerah harus merancang ulang strategi untuk melayani arus mudik. Meski tanpa mudik gratis, mudik kali ini akan jadi lebih dari sekadar perjalanan, tapi perang melawan transmisi Corona. Perlu upaya ekstra untuk memastikan bahwa arus mudik tidak akan menciptakan pusat-pusat penyebaran Corona baru di daerah.

Misalnya, bagaimana perangkat di lapangan memastikan bahwa bus-bus yang ditumpangi pemudik bisa tetap mematuhi protokol selama perjalanan? Jika di terminal keberangkatan jumlah penumpang bisa dibatasi, bagaimana memastikan bahwa bus-bus tidak akan menaikkan dan menambah penumpang di tengah jalan?

Bus antar kota antar provinsi, salah satu moda transportasi yang banyak digunakan pemudik (dok. pri).
Bus antar kota antar provinsi, salah satu moda transportasi yang banyak digunakan pemudik (dok. pri).

Tidak mudah pula mengawasi bahwa bus-bus hanya akan menurunkan penumpang di tempat yang telah ditentukan supaya penumpang bisa disaring. Bagaimana jika  saringan bocor karena penumpang turun di luar terminal? Apa sanksinya bagi penumpang dan operator bus yang menghindari pemeriksaan?

Hal-hal semacam itu masih jadi tanda tanya dan pemerintah harus sudah menjawabnya dengan skenario yang matang sebelum arus mudik semakin deras mengalir ke daerah.

Segala langkah dan kebijakan dalam pandemi Covid-19 memang tidak bebas dari risiko. Di sisi lain sekadar mengharapkan kesadaran masyarakat dengan hanya bertumpu pada imbauan sepertinya tidak akan cukup untuk memerangi Covid-19 di Indonesia. Langkah maju-mundur dalam menyiapkan mudik bisa membuat upaya Pembatasan Sosial Skala Besar serta social & physical distancing yang selama ini dilakukan seketika ambyar. 

Jikalau terlambat mematangkan skenario mudik, sama artinya pemerintah melempar keranjang Corona ke daerah di mana daerah dengan kapasitas dan kapabilitas serba tidak seragam mau tidak mau harus siap menerimanya. Dan sedikit saja tidak siap, keranjang itu bisa berceceran dan meluber isinya.

Semoga itu tidak terjadi. Semoga Indonesia bisa berlari kencang untuk mengejar Corona dan menendang keluar Covid-19 jauh-jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun