Misalnya, bagaimana perangkat di lapangan memastikan bahwa bus-bus yang ditumpangi pemudik bisa tetap mematuhi protokol selama perjalanan? Jika di terminal keberangkatan jumlah penumpang bisa dibatasi, bagaimana memastikan bahwa bus-bus tidak akan menaikkan dan menambah penumpang di tengah jalan?
Tidak mudah pula mengawasi bahwa bus-bus hanya akan menurunkan penumpang di tempat yang telah ditentukan supaya penumpang bisa disaring. Bagaimana jika  saringan bocor karena penumpang turun di luar terminal? Apa sanksinya bagi penumpang dan operator bus yang menghindari pemeriksaan?
Hal-hal semacam itu masih jadi tanda tanya dan pemerintah harus sudah menjawabnya dengan skenario yang matang sebelum arus mudik semakin deras mengalir ke daerah.
Segala langkah dan kebijakan dalam pandemi Covid-19 memang tidak bebas dari risiko. Di sisi lain sekadar mengharapkan kesadaran masyarakat dengan hanya bertumpu pada imbauan sepertinya tidak akan cukup untuk memerangi Covid-19 di Indonesia. Langkah maju-mundur dalam menyiapkan mudik bisa membuat upaya Pembatasan Sosial Skala Besar serta social & physical distancing yang selama ini dilakukan seketika ambyar.Â
Jikalau terlambat mematangkan skenario mudik, sama artinya pemerintah melempar keranjang Corona ke daerah di mana daerah dengan kapasitas dan kapabilitas serba tidak seragam mau tidak mau harus siap menerimanya. Dan sedikit saja tidak siap, keranjang itu bisa berceceran dan meluber isinya.
Semoga itu tidak terjadi. Semoga Indonesia bisa berlari kencang untuk mengejar Corona dan menendang keluar Covid-19 jauh-jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H