Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sekarang di Rumah Dulu, Nanti Kita ke Cirebon Lagi dan Rebah di Cordela

31 Maret 2020   21:31 Diperbarui: 31 Maret 2020   21:27 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gapura khas Cirebonan banyak menghiasi bangunan di Jalan Siliwangi Cirebon (dok. pri).

Cirebon. Nama ini langsung muncul di kepala ketika mendengar kabar pada awal Maret lalu pemerintah menambah hari libur dan cuti bersama tahun 2020. Dua di antara hari libur itu menambah daftar long weekend yang cocok untuk berlibur.

Sejak lama saya ingin mengulang perjalanan ke Cirebon setelah menjelajahi beberapa tempat di sana pada akhir Maret 2014 silam. Tujuan ke Cirebon saat itu sebenarnya untuk menghadiri sebuah acara. Namun, acara yang selesai pada 30 Maret itu memberi saya kesempatan lebih untuk mengenal Cirebon. Kebetulan pula sedang libur Hari Raya Nyepi sehingga saya sudah menyiapkan diri untuk melongok beberapa tempat di Cirebon.

Jelajah Rasa
Terasa menyenangkan menjejak dan menjelajah Cirebon. Masih teringat betul pagi pertama di Cirebon ketika itu. Tak jauh dari tempat menginap yang sederhana, saya menemukan tempat makan pinggir jalan yang ramai.

Docang Ibu Kapsa, begitu namanya. Tentu saja Docang asing bagi saya. Jangankan rasanya, wujudnya pun belum pernah saya lihat. Tergerak rasa penasaran dan tergoda oleh ramainya pembeli, saya pun memutuskan memesan Docang. 

Docang (dok. pri).
Docang (dok. pri).
Rupanya Docang merupakan salah satu sajian khas Cirebon yang jadi menu sarapan favorit masyarakat kota udang. Meski sepintas mirip lontong sayur, Docang lebih kaya bahan nabati, yakni daun singkong, tauge, parutan kelapa, dan oncom. Karbohidratnya berupa lontong. Masih ditambah kerupuk yang tak pernah gagal melengkapi makanan apapun.

Docang yang disiram kuah panas membuat lidah saya terkejut. Daun singkong dan taugenya terasa segar. Kuahnya meski berminyak, tapi ringan dan gurih di lidah. Sedan parutan kelapa dan oncom membuat rasa Docang semakin "ramai". Pada kesempatan pertama itu, saya langsung jatuh cinta dengan rasa Docang yang unik dan otentik. Lahap saya menyantapnya dan hari berikutnya saya kembali memilih sarapan dengan Docang yang saat itu hanya Rp6000 per porsi. 

Nasi Jamblang (dok. pri).
Nasi Jamblang (dok. pri).
Malam harinya usai mencuci mata dan melongok alun-alun, perut yang lapar menggiring saya ke sebuah tempat yang agak menjorok ke dalam sebuah gang. Di bawah sorot lampu yang tak terlalu terang aneka hidangan tersaji. Beberapa orang duduk mengelilingi sang penjual. Semuanya, termasuk saya, menyantap Nasi Jamblang.

Ternyata asyik menyantap nasi porsi kecil beralaskan daun jati ini. Disajikan dengan aneka pelengkap seperti sambal merah yang khas, sate usus, sate ati ampela, sate telur puyuh, telor dadar, kentang goreng, tempe dan tahu goreng, perkedel, dan sebagainya.  Meski nasi jamblang bersama lauknya bisa dikatakan tidak murah, tapi tidak pernah salah menyantapnya di Cirebon. 

Terpikat Tahu Gejrot di Cirebon (dok. pri).
Terpikat Tahu Gejrot di Cirebon (dok. pri).
Tak hanya Docang dan Nasi Jamblang, di Cirebon lidah saya juga terpikat oleh Tahu Gejrot. Penjual yang saya temui di Cirebon masih cukup tradisional. Jika di kota-kota lain Tahu Gejrot dijajakan dengan gerobak atau sepeda motor, di sini masih ada penjual yang berkeliling dengan pikulan. Penyajiannya juga menggunakan piring kecil dari tanah liat, bukan gelas plastik.

Hal-hal itulah yang membuat Tahu Gejrot di Cirebon terasa jauh lebih nikmat. Terbukti pula bahwa hal terbaik menikmati kuliner tradisional memang harus di tempat asalnya.

Jelajah Kota
Saya selalu senang berjalan kaki menikmati wajah kota dan Cirebon memberi pengalaman mengasyikkan itu. Pusat kota Cirebon dilingkupi oleh Jalan Siliwangi, Karanggetas dan Kartini. Melalui ketiganya Cirebon bisa disusuri dengan berjalan kaki. Memang agak melelahkan karena matahari di Cirebon lumayan terik. Namun, beberapa ruas jalan di kota ini memiliki trotoar yang lumayan nyaman untuk ditapaki.

Di Jalan Siliwangi yang membelah jantung kota selain berdiri gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran, banyak pula hotel dan penginapan. Sepanjang Jalan Siliwangi potret kearifan budaya yang lestari bisa dijumpai lewat banyaknya bangunan yang memiliki gapura khas Cirebonan dengan susunan batu bata merah. 

Gapura khas Cirebonan banyak menghiasi bangunan di Jalan Siliwangi Cirebon (dok. pri).
Gapura khas Cirebonan banyak menghiasi bangunan di Jalan Siliwangi Cirebon (dok. pri).
Sebuah keunikan juga saya dapati ketika menyusuri jalan ini. Hampir semua pedagang kaki lima dan warung hanya menjual teh botol dengan satu merek yang sama.

Wajah lain Cirebon tersaji di sepanjang Jalan Karanggetas. Saya terkesima oleh deretan toko emas dan perhiasan yang banyak jumlahnya. Bahkan, di sepanjang trotoarnya ada puluhan orang dengan kotak kayu bertuliskan "menerima jual emas". Ini pertama kalinya saya menemukan banyak toko emas dan penjual emas di sebuah ruas jalan. Apakah orang Cirebon gemar emas?

Keramaian di Cirebon (dok. pri).
Keramaian di Cirebon (dok. pri).
Meninggalkan Jalan Karanggetas, lalu menjejak Jalan Pasuketan. Pemandangan yang menonjol di sini ialah geliat ekonomi rakyatnya yang memesona, khususnya pedagang kecil. Banyak penjual kelopak bunga di sepanjang jalan yang berselingan dengan penjual pakaian dan makanan. Lagi-lagi ada yang menarik dan mengundang penasaran. Banyak penjual Soto Madura di Pasuketan. Entah bagaimana awal ceritanya sehingga soto menyeberang jauh dari Madura sampai ke Cirebon.

Jelajah Sejarah
Cirebon merupakan kolam pertemuan berbagai budaya serta agama. Pengaruh budaya Eropa (Belanda), Tionghoa, dan Jawa, serta harmoni tiga agama yakni Islam, Hindu dan Budha melingkupi Cirebon sejak lama. Semuanya saling berinteraksi dan membaur sehingga membentuk rona Cirebon hingga sekarang. 

Gapura di Keraton Kasepuhan (dok. pri).
Gapura di Keraton Kasepuhan (dok. pri).
Lintasan sejarah dan bukti masa lalu yang terawetkan memperlihatkan keunikan Cirebon. Oleh karena itu, menyenangkan bisa datang ke Cirebon karena sejarahnya yang unik dan kaya.

Saya sempat singgah ke Keraton Kanoman yang merupakan salah satu jantung penyebaran agama Islam di Cirebon dan Jawa Barat. Sayangnya Kanoman juga menjadi saksi kunci redupnya Kasultanan Cirebon yang kemudian pecah dan melahirkan satu keraton lainnya, yakni Kasepuhan. Pudarnya Kanoman tergambar dari keberadaannya yang tenggelam di balik riuh pasar Kanoman. Detak kehidupan keraton nyaris tidak terasa saat saya datang empat tahun silam. 

Keraton Kasepuhan (dok. pri).
Keraton Kasepuhan (dok. pri).
Dari Keraton Kanoman saya sampai ke Keraton Kasepuhan. Dibanding Kanoman, Kasepuhan jauh lebih hidup dan berkembang. Ramai wisatawan berkunjung dan para abdi menyertai aktivitas keraton.

Di Kasepuhan pula pesona tiga agama dan tiga budaya bisa dirasakan. Banyak tanda dan jejak sejarah yang masih kuat dijumpai di Kasepuhan. Antara lain dua patung Macan Uutih di Taman Dewandaru, gapura dan tembok bata merah bergaya Hindu-Budha, Siti Inggil, Langgar Agung, dan Bangsal Keraton. Terdapat pula museum yang menyimpan benda-benda berharga. Salah satunya Kereta Singa Barong.

Kembali Lagi
Sejumlah pengalaman tersebut begitu membekas dan mendorong saya ingin datang lagi ke Cirebon. Ingin rasanya menjenguk tempat-tempat yang dulu pernah saya singgahi.

Bagaimana wajah kotanya? Tentu sudah banyak yang berubah dan semakin menarik. Seperti apa Kanoman sekarang? Apakah ronanya sudah tak lagi muram? Bagaimana dengan Kasepuhan? Saya ingin masuk ke Masjid Agung-nya yang dulu terlewati. 

Gapura Keraton Kanoman Cirebon (dok. pri).
Gapura Keraton Kanoman Cirebon (dok. pri).
Saya pun ingin menjawab penasaran pada Taman Sari Gua Sunyaragi. Konon di tempat ini ada deretan gua yang dulu menjadi tempat para petinggi kerajaan menyepi. Desa Wisata Cikalahang di Kabupaten Cirebon juga menarik. Konon pemandangan di sini amat indah.

Batik Trusmi harus saya datangi lagi. Dulu  saya hanya sebentar di Trusmi dan tak sempat mendapatkan batik. Selain itu, Cagar Budaya Gedung British American Tobacco tak boleh terlewat. Arsitekturnya yang gagah tentu menarik untuk diamati. Sejarahnya yang panjang sebagai pabrik rokok yang dibangun pada 1924 pastilah mengandung banyak kisah. 

Kuliner Cirebon bikin susah move on (dok. pri).
Kuliner Cirebon bikin susah move on (dok. pri).
Kembali ke Cirebon berarti kembali menikmati kulinernya. Nasi jamblang Ibu Nur, Nasi Jamblang Ibad, Empal Gentong Mang Dharma dan H. Aput perlu saya bandingkan. Docang dan Nasi Lengko wajib saya cecap. Saya pun ingin membuktikan nikmatnya Nasi ayam goreng Santa Maria yang telah diviralkan oleh beberapa food vloger.

Rebah di Cordela
Pertanyaan tersisa ialah di mana harus merebahkan diri di Cirebon nanti?

Mencari penginapan di Cirebon tidaklah sulit. Mereka yang datang ke Cirebon bisa leluasa menentukan penginapan sesuai kebutuhan. Khusus hotel berbintang, Cordela Hotel Cirebon merupakan pilihan yang tepat. Lokasinya di Jalan Cipto Mangunkusumo No. 111 sangat strategis. Dalam radius 1-2 km, banyak tempat penting dan menarik yang bisa dijangkau dengan mudah. Mulai dari stasiun, destinasi kuliner, hingga tempat belanja. 

Kamar Deluxe yang nyaman di Cordela Hotel Cirebon (foto: omegahotelmanagement.com)
Kamar Deluxe yang nyaman di Cordela Hotel Cirebon (foto: omegahotelmanagement.com)
Cordela Hotel Cirebon memiliki 110 kamar yang nyaman. Kelasnya terdiri dari Deluxe, Deluxe Business, Deluxe Executive, dan Deluxe Family. Setiap tipe kamar memiliki luas yang berbeda dan dirancang untuk menyesuaikan kebutuhan menginap yang bervariasi.

Semua kamarnya berselimut interior yang elegan dan manis. Cerah dan ceria terpancar dari warna serta isian di dalam kamar. Dengan tarif yang bersahabat, memilih kamar yang manapun akan menghadirkan kepuasan.

Misalnya kamar Deluxe yang luasnya 18 meter persegi. Selain lega, fasilitas di dalam kamar juga lengkap. Mulai dari dari tempat tidur dengan pilihan twin atau double, meja, kursi, telepon, pemanas air untuk menyeduh minuman, LCD TV, AC, toiletries, shower, hingga wifi. 

Cordela Sky Cafe (foto: omegahotelmanagement.com).
Cordela Sky Cafe (foto: omegahotelmanagement.com).
Sementara itu di lantai tujuh bercokol Cordela Sky Cafe. Di sini terdapat area indoor dan outdoor yang menawarkan suasana rileks sambil menikmati pemandangan Cirebon dari ketinggian. Sedangkan di lantai satu Mezzanine Restaurant menunggu dengan sajian nikmatnya, baik untuk sarapan maupun makan malam. 

Kamar Deluxe Executive di Cordela Hotel Cirebon (foto: omegahotelmanagement.com).
Kamar Deluxe Executive di Cordela Hotel Cirebon (foto: omegahotelmanagement.com).
Dengan semua fasilitas yang ada, Cordela Hotel Cirebon menjanjikan istirahat yang berkualitas sekaligus pengalaman menginap yang membahagiakan. Menginap di sini tidak sekadar datang, merebahkan diri, lalu check out. Kesenangan yang dirasakan saat menikmati wisata Cirebon juga akan berlanjut di Cordela Hotel Cirebon.

Tentu saja itu nanti setelah darurat nasional Covid-19 berlalu. Sekarang saya dan kita semua perlu di rumah dulu, menjaga kesehatan bersama sambil berdoa agar wabah ini segera berakhir. Semakin cepat Indonesia pulih kembali, semakin cepat saya bisa ke Cirebon lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun